Kamis, 25 Agustus 2011

[LOMBA AKU] Si Keping Coklat

Mau tahu, apa kue Lebaran favoritku? Jawabannya, banyaaak! Aku tergila-gila dengan kue putri salju, gemar lidah kucing, suka cistik and love choco chips. Tuh kan, bingung memilihnya. Rasanya berat untuk memilih satu diantara mereka *halah…lebay!
Tapi dari keempat kue tersebut, ada satu pengalaman yang berkesan saat membuat kue dahulu bareng Mama tercinta. Zaman baheula saat aku masih kecil nan imut *masih SD gitu lho, Mama kepengen membuat kue lebaran yang spesial. Dalam arti, belum pernah dibikin sendiri sebelumnya. Pilihan pun jatuh pada choco chips (kue yang bentuknya mirip G**dtime). Biasanya untuk Lebaran, Mama cuma membuat kacang goreng, cistik dan kue semprit mawar. Kue lainnya yaaa… beli. Nah pada masa itu, ada iklan suatu produk yang mencontohkan cara membuat choco chips. Cuma kan yang namanya iklan, waktu tayangnya terbatas. Sementara kita belum tentu hafal langkah-langkah serta bahan bakunya dalam sekali lihat iklan. So Mama memutuskan untuk 'berburu' tabloid yang kira-kira bakal memuat resep itu.
Setelah mengecek (cuma ngecek, nggak membeli, hehehe) di penjual koran langganan, tak satupun media cetak memuatnya. Dulu belum 'melek' internet sih ya, jadi nggak kepikiran buat browsing resep di dunia maya. Nah, karena tak ada media cetak yang memuatnya, Mama punya 'misi khusus' mencatat resep choco chips ketika iklan itu 'mentas' di TV. Anehnya, ketika mulai berniat untuk mencatatnya, iklan itu jarang nongol. Padahal waktu belum kepengen mencatatnya, tuh iklan sering ada di TV. Emang bener ya kata orang, kalau lagi nungguin sesuatu, entah kenapa sesuatu itu terasa lamaaa hadirnya. Ketika nggak ditunggu, malah berseliweran di depan mata kita. Dengan kata lain, sesuatu itu mulai terasa penting tatkala ia 'menghilang' bak ditelan mumi eh bumi.
Kembali ke laptop! *bergaya ala Tukul. Suatu hari di siang bolong, aku dan Mbak (pembantu) duduk manis di depan TV. Tiba-tiba, iklan memasak choco chips ’numpang lewat’ di depan kami. Buru-buru kami grasak-grusuk, mencari perlengkapan tulis. Sayangnya begitu kami siap, iklannya bablas pisan.   
”Yaaa... Mbak, kelewatan kita,” sesalku.
”Nggak apa-apa, kita siap-siap aja. Siapa tahu nanti iklannya ada lagi. Kita stanby!” Si Mbak bersemangat ’45.
         Si Mbak kemudian mengatur strategi supaya ketika iklannya ’main’, kita berdua nggak keteteran mencatatnya. Maka disepakatilah strategi seperti ini : setiap langkah ganjil, Si Mbak yang mencatat. Sementara aku disuruh mencatat langkah yang genap. Maksudnya begini, langkah pertama dalam membuat choco chips di iklan itu, Mbak yang mencatat. Sementara langkah kedua, keempat dan seterusnya yang genap, menjadi jatahku. Selang beberapa saat usai mengatur strategi, iklan memasak choco chips tayang.
”Ayo, Mbak tulis!” seruku heboh.
”Iya, ini lagi nulis!” sahut Mbak. Kepalanya bolak-balik menatap layar kaca dan buku yang sedang ditulisnya. Sementara aku merasa gemas, ingin cepat-cepat menulis juga.
”Hayo, sekarang kamu yang nulis, Dek!” gantian Mbak yang berseru.
         Lantas, aku gerakkan pena secepat mungkin. Aku menulis apa yang kudengar dan kulihat. Tak peduli tulisanku seperti ceker ayam atau tidak, yang penting menulis. Setelah aku mencatat langkah kedua, Mbak menulis langkah ketiga. Begitu seterusnya hingga seluruh langkah memasak choco chips tercatat semua. Kemudian catatan tersebut kami rapikan di selembar kertas, yang kelak disetorkan kepada Mama.
”Mama, Mama! Tadi adek sama Mbak berhasil catat resep choco chips lho! Ini Ma, resepnya,” kataku girang saat Mama pulang kerja.
”Iya, taruh aja di meja,” jawab Mama singkat sambil melepas sepatunya.
            Keesokan paginya, aku bangun tidur mendapati Mama siap beraksi di dapur. Di meja dapur sudah ada tepung terigu, telur, margarin, coklat dan bahan baku lainnya.
”Mama mau buat ini?” tanyaku sambil menunjuk resep kue yang ada di bungkus belakang margarin.
”Bukan.”   
”Terus buat apa, Ma?”
”Masa kamu nggak tahu sih, Mama mau membuat apa?” Mama balik bertanya.
Pandanganku lantas tertuju pada notes milik Mama, yang entah kenapa baru terlihat saat itu juga. Aku tak tahu pasti itu catatan apa *sukar membaca tulisan Mama yang beda tipis dengan tulisan dokter, hehehe... peace, Mom! Tapi sepertinya itu resep makanan, bukan resep untuk mengatasi patah hati *ya iyalah.   
            Kemudian aku memperhatikan ’aksi’ Mama di dapur. Mulai dari mengayak tepung dalam mangkok, mengolesi loyang dengan margarin lalu menaburinya dengan terigu tipis-tipis, melelehkan mentega dengan coklat hingga membentuk adonan menjadi seperti bola dengan sendok. Nah, saat Mama membentuk adonan dengan sendok itulah, aku teringat dengan iklan choco chips di TV.
”Mama mau buat choco chips ya? Asyiiik!” ucapku gembira. Sementara Mama senyum-senyum saja.
Di sela-sela berkreasi dengan adonan, Mama bercerita kalau kemarin ia juga mencatat resep choco chips di kantornya. Usai mencatat resep, tak lama kemudian teman Mama bertandang ke kantor Mama. Kebetulan teman Mama yang satu itu jago bikin kue, makanya saat ngobrol-ngobrol dengannya, sekalian Mama diajarin cara membuat choco chips. Wah, pantas saja waktu kusodori resep yang capek-capek kutulis dengan Mbak, Mama bersikap datar alias biasa-biasa saja. Huhuhu *Si Mbak menggigit-gigit kertas, hehehe...nggak deng!
Meski sedikit kecewa karena catatan kami tak terpakai, aku tetap membantu Mama semampunya. Karena masih kecil nan imut, aku cukup senang bisa membantu mengatur adonan di atas loyang, sebelum dimasukkan ke dalam oven. Syukurlah, setelah puluhan menit berkreasi di dapur, akhirnya choco chips jadi juga. Berhubung lagi puasa, aku cukup puas dengan menghirup aromanya saja, hehehe. Baru deh ketika bedug maghrib, choco chips-nya mulai diicip-icip. Rasanya mirip-mirip G**dtime lho! Maknyus tenaaan! Berhubung choco chips itu jerih payah Mamaku, maka aku beri 12 jempol untuknya *4 jempolku, 8 lagi minjem jempol kakak . Kalau nggak diingetin sama Mama, choco chips itu buat Lebaran, mungkin kue tersebut sudah ludes malam itu juga, hehehe.
            Setelah Mama mulai ngefan sama kue lebaran buatan temannya, Mama jarang membuat kue lagi. Paling-paling kacang goreng doang yang masih bikin sendiri. Eh... kacang goreng bukan kue ya? Hehehe. Selebihnya, Mama membeli kue buatan temannya. Tapi emang sih, kue buatan Bude XYZ (maaf, namanya lupa, peace!) enak banget. Tak heran kami sekeluarga sangat menyukainya. Sejak itulah, ovennya Mama ’dipensiunkan’. 
            Sejak Mama kembali ke PangkuanNYA tujuh tahun lalu, kami sekeluarga meneruskan ’tradisi’ membeli kue Lebaran, ketimbang membuatnya sendiri. Dari ketiga putri Mama, belum satu pun dari kami yang pernah praktek membuat cistik, semprit mawar dan choco chips sendiri. Selain persoalan peralatan yang belum kami miliki *,  kebetulan Ibu tiri berjualan kue Lebaran seperti kaastangel, semprit mawar, sagu keju, dan putri salju. So, wajarlah kami jadi konsumen tetap beliau. Tak apa-apalah bila kami belum bisa membuat kue sendiri, yang penting kan ketika Lebaran tiba, ada kue-kue yang bisa disajikan untuk para tamu, right?
***
Room Sweet Room,

Kamis, 25 Agustus 2011 pukul 16.18 WIB

Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Aku dan Kue Lebaran Favorit : http://akuai.multiply.com/journal/item/626