Rabu, 20 Juni 2012

[Cerpen] SEKURITI JUJURYANTI


Menjadi satpam enggak pernah terbayangkan sebelumnya oleh gadis lugu bernama Jujuryanti. Soalnya sewaktu kelas 3 SMA, Jujur masih bingung mau melakukan apa setelah lulus nanti. Apakah mau melanjutkan ke perguruan tinggi atau langsung kerja. Babehnya menyarankan lanjut kuliah, sementara Emak pengen Jujur langsung kerja.
"Kalau dipikir-pikir, saran Emak lebih masuk akal. Kerja kan buat cari duit. Sementara kalau kuliah, justru ngeluarin duit. Nah, duitnya dari mana? Cari beasiswa juga belum tentu dapat," gumam Jujur suatu hari.
"Tapi Babeh bilang, kalau jadi Sarjana, cari kerjanya lebih gampang daripada lulusan SMA. Duh, Jujur jadi bingung!" lanjut Jujur bergumam.
Setelah berhasil mengusir kebingungan, Jujur pun memutuskan untuk cari kerja saja. Prinsipnya kerja apa saja, yang penting halal, biar bisa segera membantu ekonomi keluarganya. Sejak itulah, Jujur rajin ke kios koran Bang Atep. Tujuannya bukan untuk membeli koran, tapi lihat iklan lowongan kerja secara gratis!  
"Pagi, Bang Atep! Numpang baca ya!" sapa Jujur pada Bang Atep yang lagi mengatur pembagian koran kepada para loper.
"Neng Yanti, masih belon nyantol juga kerjaannya?" tanya Bang Atep. Cuma Bang Atep yang memanggilnya Yanti.
"Belum, Bang. Masih cari," jawab Jujur seraya mengambil sebuah koran untuk dibaca.
"Emang Neng Yanti, cari kerja apa sih?"
"Apa aja, Bang. Asal halal," Jujur menjawab sembari membolak-balik halaman koran.
"Apa aja, asal halal?" Bang Atep mengulang ucapan Jujur, "kalau jadi satpam mau nggak?"
***
"Hah, satpam?!" Babeh terkejut ketika Jujur mengutarakan niatnya menjadi satpam. Combro yang tadi mau disantapnya, sampai-sampai ditaruh lagi di piring.
"Iya, Beh, satpam. Kata Bang Atep, kantor temannya lagi butuh sekuriti," Jujur ngembat combro yang nggak jadi dimakan Babeh.
"Cari sekuriti kok di sini, sih? Bukannya di Jepang?" kata Babeh terheran.
"Kenapa Jepang, Beh?" tanya Emak bingung. Jujur sebenarnya juga nggak ngerti maksudnya Babeh itu apa. Ngomongin satpam, eh tiba-tiba muncul topik Jepang. Tapi karena mulutnya lagi ngunyah combro, Jujur belum bisa mengutarakan kebingungannya. Untung, sudah diwakili Emak.
"Lha iya, sekuriti itu bukannya bunga khas Jepang?"
Jujur keselek combro. Entah kenapa combronya jadi sulit ditelan, usai Babeh mengatakan hal yang salah.
"Ya ampun, Babeh. Itu mah sakura, bukan sekuriti. Sekuriti itu petugas keamanan, Beh, alias satpam!" Emak mengoreksi.
"Hooo... Sekuriti itu satpam ya? Babeh ini kan cuma tamatan SD, Mak. Jadi maklum kalau Babeh rada-rada nggak mudeng," tutur Babeh berkilah.
"Haduh Babeh, gimana sih? Untung jari Emak nggak ketusuk jarum gara-gara Babeh salah jawab," gerutu Emak yang lagi menjahit baju pesanan.
"Jadi Beh, boleh nggak Jujur jadi satpam?" tanya Jujur usai minum, menghilangkan tersedaknya.
Babeh berpikir sejenak sebelum menjawab, "Boleh, asal temennya Bang Atep harus menghadap Babeh dulu kalau mau rekrut kamu."
"Yaelah Babeh, emangnya Jujur mau dilamar? Justru Jujur mau ngelamar pekerjaan, Beh," sewot Jujur. Emak sampai geleng-geleng kepala. 
"Yaudah, Babeh bolehin kamu lamar pekerjaan itu, asal...."
"Asal apa, Beh?" kali ini Jujur ngemil pisang goreng.
"Asal kamu siap jalaninnya. Kamu sudah tahu belum resiko jadi satpam?" Babeh memandang putrinya lekat-lekat.
"Ng...paling disuruh jaga malam, Beh,” jawab Jujur, matanya menatap langit-langit, “Ah, tapi nggak apa-apa kok, Beh. Jujur kan belum nikah, jadi boleh dong pulang pagi."
"Tapi kamu kan masih punya Babeh sama Emak,” Babeh mengingatkan.
"Hehehe... Iya, Beh. Jadi, boleh ya Jujur kerja di kantor temannya Bang Atep?"
Babeh nggak menjawabnya secara langsung. Cuma dengan sekali anggukan kepala, sudah membuat Jujur girang bukan main. Jujur sampai memeluk Babehnya dengan tangan berminyak bekas gorengan.
***
Hari pertama kerja jadi satpam, tentu membuat Jujur bingung. Ia belum tahu tugas dan tanggung jawabnya apa saja. Untungnya Pak Salit, kepala bagian keamanan, memberikan pembekalan terlebih dulu kepada Jujur dan sejumlah rekannya sesama karyawan baru. Selama sebulan ke depan, Jujur dan rekan dilatih bela diri selama satu jam tiap harinya. Dalam setiap sesi latihan, Pak Salit selalu mengingatkan tugas, fungsi dan tanggung jawab satpam. Jujur berusaha memahami apa yang harus, boleh dan dilarang untuk dilakukan ketika bertugas.   
”Kerja jadi satpam itu harus berani, nggak boleh takut. Sebab, tanggung jawab satpam itu nggak ringan. Kita harus melindungi dan mengamankan lingkungan kerja dari setiap gangguan keamanan. Jadi setiap tamu yang datang, harus diperiksa. Tanda pengenalnya ditahan. Tujuannya untuk mendeteksi secara dini penyusup...” papar Pak Salit yang jarang tersenyum ketika bertugas.
”Eee... Pak Salit, emangnya satpam itu nggak boleh takut sedikit pun ya? Begini, soalnya Jujur agak takut sama ayam yang masih hidup, Pak. Nggak tahu kenapa, ayam-ayam tuh suka ngejar-ngejar Jujur. Padahal Jujur kan nggak pernah ngajak main kejar-kejaran,” ungkap Jujur terus terang. 
            Pak Salit sempat dibuat melongo sejenak oleh pengakuan Jujur. Baru kali ini ia memperoleh pertanyaan ’ajaib’ dari stafnya. Sementara rekan-rekan Jujur berusaha keras menahan tawa melihat raut wajah terkejut Pak Salit. Tampak sekali Pak Salit kesulitan menyusun jawaban yang tepat untuk pertanyaan Jujur tadi.
”Ehm, sebaiknya memang nggak punya rasa takut. Tapi bukan berarti nggak boleh takut sama sekali. Kalau kamu takut sama ayam, nggak apa-apa. Asalkan ketika berhadapan dengan penjahat, kamu harus berani. Penjahat kan jauh lebih berbahaya daripada ayam,” respon Pak Salit dengan pemilihan kata yang hati-hati.
            Jujur manggut-manggut, sekaligus lega rasanya diperkenankan takut terhadap ayam. Tapi masih ada yang mengganjal, akhirnya ia bertanya kembali.
”Lalu Pak, kan tadi bapak bilang. Tamu yang datang, tanda pengenalnya harus ditahan. Misalkan tamunya nggak punya tanda pengenal, gimana Pak menahannya?”
Kening Pak Salit berkenyit, ”maksudnya nggak punya tanda pengenal itu gimana?”
”Kayak Jujur nih, Pak. Ada tanda pengenal di siku sebelah kanan. Ini tanda dari orok udah ada, Pak. Lantas gimana kalau tamunya nggak punya tanda pengenal kayak begini?” ucap Jujur sambil menunjukan tanda lahir di siku tangan kanannya.
            Pak Salit memijat keningnya. Ia nggak habis pikir, bagaimana petugas HRD bisa meloloskan Jujur sebagai karyawan kantor ini. Sebagai petugas keamanan pula yang menurutnya selain harus berani, juga dituntut cerdas agar mampu mengambil keputusan cepat dan tepat.  
”Begini, Jur. Tanda pengenal itu bukan yang terdapat pada fisik seseorang. Melainkan tanda pengenal yang diakui legalitasnya seperti KTP, SIM, kartu pelajar, dan sebagainya,” jelas Pak Salit dengan sabar. Rekan-rekan Jujur cuma bisa senyum dikulum.
”Terus Pak, setiap tamu yang datang kan harus diperiksa ya?”
”Ya.”
”Apanya yang diperiksa, Pak? Soalnya Jujur bingung kalau harus memeriksa badan tamu. Kalau tamunya laki-laki gimana? Kan bukan mahram, Pak. Lalu memeriksa tasnya tamu Jujur juga ngerasa nggak enak. Soalnya isi tas kan perivasi, Pak.”
            Pak Salit kembali mengelus-elus dahinya, sambil berjalan mondar-mondir seperti troli di swalayan. Kali ini dia berpikir, Jujuryanti itu sebenarnya kritis atau lemot sih? Masa, keterangan yang sudah dijelaskan dengan gamblang tadi masih dipertanyakan.
”Pokoknya periksa itu, ya diperiksa aja tamunya. Mau periksa tubuh kek, periksa tas kek, terserah. Yang penting sebelum tanda pengenalnya ditahan, tamu itu harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Ada lagi yang perlu dijelaskan?” tandas Pak Salit sambil mengatur napas untuk mengatur emosi. Ada rasa gemas yang sangat menguasai dadanya.
            Jujur tertegun sejenak untuk mencerna penjelasan Pak Salit tadi, sebelum ia menggelengkan kepala sebagai tanda mengerti. Pak Salit mensyukurinya dengan menghembuskan napas lega.
”Baguslah kalau sudah mengerti. Sekarang bapak akan membagikan perlengkapan kerja kalian,” tukas Pak Salit. Ia kemudian membagikan buku saku, senter, handy talkie (HT), semprotan gas dan alat kejut listrik satu per satu kepada Jujur dan rekan-rekan. Jujur yang seumur-umur belum pernah punya ponsel, girang bukan kepalang saat menerima HT.
”Pak Salit, ini HP buat nelepon bapak ya kalau ada penjahat?” tanya Jujur sembari menatap mesra HT di tangannya.  
Pak Salit geleng-geleng dangdut eh kepala. Entah bagaimana lagi ia harus menilai anak buahnya itu. Sebenarnya kalau Pak Salit punya wewenang menentukan penerimaan tenaga kerja, ia tak sudi menerima karyawan seperti Jujur. Tapi karena itu bukan wewenangnya, maka ia harus membulatkan tekad untuk sabar menghadapi anak buah ’unik’ seperti Jujur.
”Itu bukan handphone, tapi handy talkie,” Pak Salit mengoreksi.
”Oh, ini handy talkie tho…. Eh, handy talkie itu apaan ya, Pak?”
Gubrak! Kata anak gaul, capeeek deeh!
Yaa... itu alat untuk berhubungan dengan petugas keamanan lain. Jadi, petugas di berbagai pos harus saling berkomunikasi guna mencegah hal-hal yang tak diinginkan,” terang Pak Salit.
“Hm, kalau gitu nggak bisa buat smsan ya, Pak?” komentar Jujur seraya meraba-raba HT baru.  
Arrgh…! Rasanya Pak Salit ingin sekali berteriak lantang atau mengguncang-guncangkan kepala Jujur biar otaknya encer. Entah pertanyaan konyol apa lagi yang bakal dilontarkan oleh Jujur kepadanya.
”Kan tadi bapak bilang, itu handy talkie, bukan HP. Jelas nggak bisa buat smsan, tapi bisa untuk berkomunikasi dalam jarak jauh!” ucap Pak Salit mulai sedikit emosi.
”Jauhnya berapa kilo meter, Pak?”
”Lima meteran,” sahut Pak Salit agak nyolot.
”Terus ini nggak pakai pulsa kan ya, Pak?”
Astaga, anak ini!” Pak Salit mangkel, kesel, rasanya pengen nelenin Jujur bola bekel.
***
            Pada masa awal karirnya, Jujur merasakan betapa beratnya tugas sebagai satpam, khususnya ketika pembekalan teknik bela diri. Maklum, sebelumnya Jujur tak menguasai satu pun teknik bela diri, kecuali teknik lari cepat dari kejaran ayam. Selama itu pula, Jujur mati-matian menguasai jurus-jurus bela diri yang diajarkan Pak Salit.
Kini, hampir dua bulan Jujuryanti bekerja sebagai satpam wanita di kantornya. Ia mulai merasakan nikmatnya menjadi satpam, salah satunya tubuh yang makin atletis. Dahulu jangankan otot, tak ada penampakan tulang yang menonjol saja disyukuri sekali oleh Jujur. Maklum, tubuhnya memang setipis keripik alias kerempeng.
Menginjak bulan ketiga, cobaan mulai menerpa Jujur. Untuk pertama kalinya sejak ia bekerja di sana, kantornya kebobolan. Menurut laporan yang diterima Pak Salit, sebuah CD berisi data rahasia perusahaan telah hilang. Karena perkiraan kejadian berlangsung ketika Jujur bertugas malam, ia pun diinterogasi. Tapi Jujur tak sendiri, bersama sejumlah rekannya yang juga bertugas malam diperiksa.
”Sumpah, Pak. Bukan Jujur yang mencurinya. Lagian juga buat apa Jujur mencuri CD kalau komputer aja Jujur nggak punya,” cetus Jujur kepada Pak Roland, kepala Departemen TI. Bersama Pak Salit, Pak Roland menginterogasi orang dalam.
”Apa kamu yakin anak buahmu ini berkata jujur, Pak Salit?” tanya Pak Roland menunjuk Jujuryanti.
”Saya 300 persen yakin, anak ini menjawab apa adanya,” nada Pak Salit terdengar tegas.
”Yakin deh sama saya, Pak. Babeh sama Emak namain saya Jujuryanti, pastinya berharap saya ini jadi orang yang jujur,” sambung Jujuryanti menguatkan opini Pak Salit.
”Lalu siapa dong pelakunya kalau semuanya pada nggak ngaku begini? Hendri, staf saya yang memegang kunci lemari penyimpanan CD bilang, dua hari lalu ia masih melihat CD itu di lemari...” Pak Roland terdengar mulai putus asa. Ia khawatir CD itu disalahgunakan. 
Jujuryanti dan beberapa koleganya mengangkat bahu secara bersamaan. Sementara Pak Roland mendesah kecewa.
***
            Keesokan harinya, seperti biasa Jujuryanti tiba di kantor sore hari menjelang malam. Melihat dua mobil polisi parkir di halaman kantornya, Jujuryanti langsung menduga perusahaan mulai melibatkan kepolisian. Benar saja ketika Jujuryanti baru akan mengisi absen kehadiran, namanya langsung disebut-sebut oleh Pak Salit melalui HT. Ia diminta menjaga keamanan area sekitar ruang TI, sementara polisi melakukan penyelidikan di sana.   
            Merasa tenaganya dibutuhkan secepatnya, Jujuryanti segera mengisi absen dan menuju ke lantai lima. Sesampainya di lantai lima, Jujuryanti terkejut melihat police line membentang di jalan masuk Departemen TI. Jujuryanti sempat bingung, seumur-umur dia melihat police line cuma di televisi. Kini di saat ia harus bekerja, malah dihalangi oleh garis berwarna kuning itu. Tapi cepat-cepat Jujuryanti ingat pesan bosnya, ”Eh iya, tadi kan Pak Salit bilang Jujur menjaga area sekitar Departemen TI, bukan Departemen TI-nya. Berarti Jujur ngawasinnya dari sini aja, pantau siapa aja yang ke lantai 5.”
            Karena Jujuryanti nggak neko-neko dalam bertugas, ia pantengin terus daerah sekitar lift. Ia perhatikan orang-orang yang keluar-masuk lift. Ia tak ingin lengah sedikit pun. Sejauh pantauannya, cuma polisi, beberapa orang penting perusahaan dan segelintir staf TI yang hilir mudik di lantai lima. Tapi tak beberapa lama kemudian, Utami, salah satu rekan kerjanya Jujur keluar dari lift. Utami terlihat senang begitu melihat Jujuryanti.
”Jujur, ternyata kamu di sini ya. Kucariin tadi di bawah nggak nemu-nemu,” ujar Utami ketika berjalan menuju Jujuryanti.
”Lha kan ada HT, kenapa nggak dipake?”
”HT-ku ada di loker. Entah kenapa kunci loker macet, jadi lokernya nggak bisa kebuka,” Utami beralasan.
”Hooo... gitu. Eh, ngomong-ngomong ada perlu apa Tami mencari Jujur?”
Utami mengajak Jujur ke pojokan, Jujur coba mengelak, ”Tami, Jujur harus mengawasi lift. Kamu mau bawa aku ke mana sih?”
“Ssst…” Tami mengisyaratkan untuk tak bersuara, tapi tetap menggiring Jujur ke pojokan.
”Kamu mau apa sih?” Jujuryanti memelankan suaranya.
“Begini, aku mau menawarkan kesaksian palsu,” Tami berbicara dengan suara dikecilkan juga.
“Hah, kesaksian palsu?” Jujuryanti kelepasan meninggikan suaranya.
“Ssst…iya, kesaksian palsu. Maksudnya, kamu dan aku mengaku kepada polisi kalau si Pakis-lah yang mencuri CD itu.”
“Boong dong kalau begitu?” celetuk Jujuryanti.
“Eee, iya bohong sedikit. Tapi kan ini untuk kebaikan bersama, supaya kasus ini cepat selesai. Kalau kasus cepat selesai, kantor kita nggak bakal digeledah polisi lagi, jelas Utami masih dengan suara dipelankan.
Jujur berpikir sejenak, menimbang alasan yang dikemukakan Tami. Eh, tapi emangnya polisi bakal percaya sama pengakuan kita? Buktinya apa kalau Mas Pakis itu pelakunya?”
“Ehm, buktinya emang nggak ada...” jawab Tami, lalu kemudian ia teringat sesuatu. “Oh ya, bulan lalu Si Pakis kan kepergok nilep HP pegawai yang ketinggalan di toilet. Polisi pasti percaya deh!”
“Tapi Tam, boong sedikit ataupun banyak kan sama-sama dosa. Itu kata guru ngaji Jujur waktu kecil dulu, kata Jujur berusaha menolak ajakan Tami secara halus.
Ini orang diajak kongkalikong susah amat, sih! Ada aja alasannya, gerutu Tami dalam hati.   
“Yaelah Jujur, sekali-kali napa kamu jangan sok alim gitu. Lagian juga ini demi kebaikan kantor kok. Supaya nggak didatangin polisi, biar nggak dibilang aneh-aneh sama orang luar. Ya, ya, mau ya?”
***
            Jujuryanti bingung menanggapi ajakan Utami untuk menuduh rekan kerjanya sendiri. Di sela-sela waktu istirahatnya, Jujur sampai bela-belain menelepon tetangga biar bisa curhat sama Emak. Meski Jujur tahu, jam telah menunjukkan pukul 22, waktu yang cukup malam untuk menelepon, tapi Jujur merasa harus berbicara dengan Emak. Maka Jujur pun minta tolong Mas Pipen, tetangga yang mengangkat telepon, untuk memanggil Emaknya.
”Jur, kamu nggak salah ngira, malam-malam begini bangunin Emak?” suara Emak di seberang sana terdengar dongkol.
”Maaf deh, Mak. Tapi ini penting, tentang kasus pencurian CD, Mak.”
”Emangnya ada apa dengan CD-nya?”
”Bukan CD-nya, Mak. Tapi tadi Tami, temanku, ngajak kasih pengakuan palsu.”
”Hah, pengakuan palsu? Kayak rambut aja pake palsu-palsu segala,” komentar Emak setengah mengantuk.
”Taelah Mak, bukan rambut palsu, tapi pengakuan palsu. Maksudnya tuh, Jujur dan Tami mengaku kepada polisi kalau yang mencuri CD itu Mas Pakis.”
”Ada buktinya nggak kalau Si Kipas itu pelakunya?” tanya Emak sambil menguap.
”Pakis Mak, bukan Kipas,” Jujur mengoreksi, ”Nggak ada buktinya sih, Mak. Justru Jujur diminta mengakui kalau itu perbuatannya Mas Pakis.”
”Wah, kalau gitu fitnah itu namanya. Jangan mau Nak, disuruh begitu. Ingat, Allah Maha Melihat dan Mengetahui. Kamu tolak aja tawaran itu, saran Emak kepada Jujur.
”Tapi Mak...”
”Sudahlah, kamu kerja aja yang bener. Masalah pencurian biar polisi yang nanganin. Udah ya, Emak ngantuk nih, mau lanjut tidur. Lagian juga nggak enak malem-malem pakai telepon tetangga.”
”Iya deh, Mak. Assalamualaikum...”
”Waalaikumussalam.”
***
            Setelah curhat sama Emak, entah kenapa hati Jujur jadi tenteram. Mungkin karena wejangan Emak ampuh menenangkan hati Jujur yang galau. Bila nanti bertemu dengan Tami, Jujur akan memberi jawaban sesuai yang disarankan Emak. Tapi sebelumnya, Jujuryanti mau ke toilet dulu. Sejak tiba di kantor tadi, dia belum buang hajat.
            Baru saja Jujuryanti mau masuk ke salah satu toilet, didengarnya samar-samar suara orang bercakap-cakap dari toilet sebelah. Jujur sampai menunda keinginan buang hajatnya, untuk menangkap suara itu lebih jelas.
”Mas Hen, tadi aku udah coba bujuk Si Anak Kampung yang jujur banget itu buat kerjasama dengan kita. Dia belum bisa kasih jawaban, minta waktu untuk mikir-mikir dulu. Tapi dia janji mikirnya nggak lama. Jadi nanti apapun jawabannya, akan aku rayu dia biar mau kongkalikong sama kita,” suara seseorang dipelankan. Jujuryanti syok mendapati namanya disebut-sebut, sampai dikatain anak kampung segala. Ditambah lagi, dia merasa dimanfaatin oleh orang itu, makanya Jujuryanti jadi geram. Dengan penuh emosi, Jujuryanti masuk ke toilet yang tak jadi ia masuki tadi. Ia membuka penutup tempat sampah yang ada di toilet. Setelah tong sampah diisi air secukupnya, ia mengeluarkan tong dan menunggu orang di toilet sebelah keluar.
”Byurrrrr...” Jujuryanti menyiram isi tong sampah begitu orang di toilet sebelah membuka pintu toilet.
”Ah... apa-apan ini?! Bau banget!” orang itu terdengar kesal campur terkejut.
***
            Keesokan paginya, Jujuryanti menggegerkan satu kampung. Tak biasanya ia pulang pagi sambil menenteng sesuatu. Anak-anak sekampungnya sampai mengiringi Jujuryanti menuju rumah. Mereka bersorak-sorak bergembira sambil menyebutkan sesuatu.
”Jujur, sepeda siapa yang kamu bawa itu?” Emak setengah tak percaya putri semata wayangnya membawa sepeda yang tampak baru.
 ”Hehehe... ya, sepeda Jujur lah, Mak. Masa sepeda orang dibawa-bawa, jawab Jujur dengan riang. Ia senang Emak takjub melihat sepeda barunya. 
”Bulan ini kamu digajinya dengan sepeda, gitu?” selidik Emak.
”Bukan, Mak. Ini hadiah. Eh iya, Babeh mana, Mak? Udah berangkat kerja ya?”
”Belum, itu lagi siapin otak-otak. Kenapa emangnya?” tanya Emak ingin tahu.
”Yuk, kita duduk dulu, Mak. Jujur capek nih, abis ngegenjot sepeda dari kantor.” Jujur memarkir sepedanya, lalu bergegas duduk di kursi tamu.
”Yaudah kalau gitu, Emak ambil minum dulu, ye? Sekalian manggil Babehmu, ucap Emak sebelum masuk ke dalam rumah.
Beberapa menit kemudian, Emak datang dengan segelas teh manis buat putrinya. Babeh mengikuti istrinya dari belakang. Jujur langsung membasahi kerongkongannya dengan teh.
”Ah, enaaak, ilang hausnya!” Jujur berkata sambil mengelus lehernya.
”Ayo, buruan cerita. Emak penasaran nih!” dorong Emak, udah nggak sabar.
Yaelah, bentar, Mak!” gerutu Jujuryanti, “Begini, sepeda ini hadiah dari kantor...”
”Hadiah dari kantor?” Babeh menyela, ”Emang kamu abis berbuat apa, Jur?”
”Makanya biarkan Jujur selesain cerita dulu, Beh,” ujar Jujuryanti, ”Jujur dikasih hadiah karena berandil dalam penangkapan pencuri CD.”
”Emang siapa pelakunya?” tanya Emak menunjukkan antusiasnya.
”Ternyata Mak, Utami dan Hendri itu yang mencuri CD kantor. Mereka berdua berencana menjual CD itu ke perusahaan pesaing. Tapi belum sempat CD itu berpindah tangan, Hendri dan Utami keburu ditangkep, papar Jujur menerangkan.
”Terus gimana kamu menangkapnya?” kali ini Babeh yang bertanya.
            Jujuryanti yang senang menjadi pusat perhatian kedua orang tuanya, makin semangat bercerita. Ia mengisahkan mulai dari kejadian di toilet, dimana ia memergoki Utami sedang berbincang-bincang dengan Hendri. Kemudian Emak dan Babeh tergelak usai Jujur menceritakan kelakuannya menyiram Utami dengan sampah toilet.
”Nah, karena Jujur yakin Utami bakal sibuk membersihkan diri dari bau sampah toilet, Jujur langsung ngacir mencari Pak Salit dan polisi yang masih ada di kantor. Nggak butuh waktu lama Mak, Beh, buat meringkus Utami. Dari pengakuan Utami pula, polisi berhasil menangkap Hendri di rumahnya.
Jujuryanti menyeruput kembali tehnya, sebelum melanjutkan, ”Jadi ternyata Mak, Utami dan Hendri itu suami-istri. Utami itu sengaja ’disusupkan’ Hendri untuk membantunya mengamankan situasi ketika ia beraksi.”
”Hooo... begitu tho ceritanya,” Emak manggut-manggut, hampir tak percaya kejadian yang dialami Jujur persis kayak di film-film.
”Nggak nyangka ya, putri Babeh hebat juga, Mak. Bisa meringkus pencuri. Udah gitu cara meringkusnya cerdik pula, nyiram orang pake sampah toilet, hahaha...” Babeh tergelak kembali.
”Siapa dulu dong, Emaknya!” Emak melirik suaminya dengan mesra. Jujuryanti mesem-mesem Emak dan Babeh membanggakan dirinya.
“Eh, ngomong-ngomong, kenapa kamu mintanya sepeda sih, Nak?” tanya Emak sedikit heran dengan pilihan Jujur.
“Eee... sebenarnya sih, Bos udah nawarin motor Mak, buat Jujur. Tapi motor itu kan pake bensin ya Mak, yang artinya ngeluarin duit lagi. Makanya Jujur minta sepeda aja, biar Babeh sekalian olahraga, ungkap Jujur terus terang. Bibirnya nyengir badak, berharap Emak dan Babeh tak keberatan dengan keputusannya memilih sepeda.
”Oh, jadi sepedanya buat bapakmu tho, ucap Emak, matanya tertuju pada sepeda berwarna merah itu.
”Iya, jadi mulai hari ini Babeh tersayang nggak usah capek-capek jalan kaki dagangin otak-otak. Pake sepeda aja Beh, biar lebih mudah dan sehat, tukas Jujuryanti menepuk ringan pundak Babehnya.
”Iya, terima kasih ya, Nak. Babeh terharu anak Babeh, inget sama bapaknya.” Babeh balas mengelus rambut hitamnya Jujuryanti.
”Iyalah, Beh. Masa nggak sih? Durhaka dong namanya?” kata Jujuryanti, diam-diam ia merasa bersyukur mampu membantu orang tuanya. Hal yang selama ini ia idam-idamkan.
”Tapi Nak, kenapa nggak kamu terima aja motornya? Kan kalau dijual bisa jadi duit, celetuk Babeh sekonyong-konyong.
Seketika Jujuryanti menepuk jidatnya. ”Oh iya, nggak kepikiran kesitu, Beh!”
Emak dan Babeh langsung lemes mendengar jawaban ’lugu’ putrinya. Jujur... Jujur....
---------------------------------------------- SELESAI -----------------------------------------------------

NB.

Temans, cerpen ini pernah diikutkan dalam Lomba Fiksi Gokil. Alhamdulillah, dapet juara Harapan Ketiga dari total 7 pemenang. Dulu sih panitianya bilang, karya para pemenang dan nominator bakal dibukukan, tapi sampai sekarang nggak ada kabar kelanjutannya tuh *curcol. By the way, juara satunya tuh lebih guokiiil dari cerpenku lho *ya iyalah, moso ya iya donk*     (◦ˆˆ)

Jumat, 15 Juni 2012

KARYA UNTUK LOMBA FOTO BLOGFAM


Halo, namaku Syamil Dzaky Qalyndra Hartantu. Usiaku 3 tahun 4 bulan. Aku paling suka bermain. Makanya ketika ayah mengajak sekeluarga outbound tempo hari, aku senang sekali.


Lelah habis ber-outbound, aku menghibur diri dengan naik kereta-keretaan bersama kakak. Pokoknya, tiada hari tanpa bermain deh! 

 

Tapi pernah juga lho, Mama melarangku bermain. Waktu itu, kami hendak pergi kondangan. Gara-gara aku tak menghabiskan susu, Mama mengunci pagar. Padahal aku sudah kepengen banget main sama teman, walau sebentar saja. “Tante, bukain pintunya, tolong....” pintaku.  


Kenalkan, ini kakakku. Namanya Rafif Dzaky Radithya Hartantu. Kakak lebih tua 3 tahun dariku. Insya Allah bulan depan, kakak belajar di sekolah yang baru. Bukan di TK lagi, tapi di SD dekat rumah kami.

 
Kak Rafif senang sekali difoto. Suatu hari, usai pernikahannya Om Dono, kakak melihat beberapa orang mengambil buket bunga. Karena tertarik, kakak ikut-ikutan memetik bunga penganten. Dan, inilah fotonya. Hihihi....


Sebagai kakak beradik, aku dan kakak sangat dekat. Kami selalu melakukan segala hal bersama-sama. Tidur bersama, main bersama, makan bersama, dan... foto bersama. Xixixi... ini dia, foto kami saat naik KRL Pakuan tempo hari. Menurutmu, imutan siapa? Aku atau kakak?   ^___^  



NB : Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Foto Blogfam Cover Kids