Kamis, 31 Oktober 2013

Amin, Perpustakaan Kontainer dari Kota Apel

           Amin namanya. Bukan, doi bukan seorang bocah anaknya Pak Amman, melainkan sekumpulan kontainer bekas yang dialihfungsi menjadi perpustakaan umum. Sebenarnya, sejak tahun lalu gue tahu info perpustakaan unik tersebut dari sebuah artikel surat kabar nasional. Hanya aja, kesempatan untuk mengunjunginya baru ada di tahun ini. Kebetulan libur Lebaran kemarin, gue dan sekeluarga mudik ke Malang. Jadi deh, gue luangin waktu khusus buat ke Amin. Dan, suatu hari di minggu terakhir bulan Agustus, gue berangkat ke terminal Arjosari menuju kota Batu.


        Stop! Sebelum lanjut baca, gue infoin dulu kalau lo (pembaca) nggak tertarik mengetahui gimana perjuangan gue bisa sampai di perpus Amin *tsaaah, lebay :D, sila di-skip aja sampai tengah tulisan ini. To the point gitu maksudnya. Tapi kalau mau berlama-lama bacanya, yowis lanjuuut..!   

Jam di ponsel gue menunjuk pukul satu siang, gue stop sebuah angkot kosong warna biru berkode AL (Arjosari-Landungsari). Sekitar 45 menit kemudian, gue tiba di Universitas Negeri Malang. Setelah motrat-motret sebentar di sana, gue beranjak ke sebuah tempat tak jauh dari kampus UM. Kelar urusan, naik angkot AL lagi menuju terminal Landungsari. Dari situ nyambung angkot ungu, turun di terminal Batu. Selesai? Belum, Temans. Abis plengak-plengok sebentar, gue baca lagi note di HP gue.
“Naik angkot hijau/merah, turun di jalan besar masuk Jatim Park 1,” baca gue dalam hati.

           Next
, gue nyebrang jalan, and di hadapan gue lagi ngetem sebuah angkot berplat kuning tapi bodinya merah. “Wah, gampang juga nemunya, tinggal naik, nggak pake lama,” pikir gue. Tapi iseng-iseng, gue tanya ke anak SMP yang nyebrang bareng gue. Kata dia, kalau mau ke Jatim Park 1, nggak naik angkot juga bisa. Tinggal jalan dikiiit, nyampe deh. So, otak ekonomis gue langsung mengiyakan aja saran tuh anak. Maka, ‘goodbye’ deh ama angkot merah yang batal gue naikin. Sebagai gantinya, gue mlaku dari depan Pasar Batu yang beraroma sampah semerbak ‘mewangi’, and jalannya menanjak.

Tiba di pintu masuk Jatim Park 1, gue tengok kanan-kiri (lagi), cari patokan kedua yakni Stadion Gelora Brantas. Nihil, nggak ditemukan barang satu palang pun bertuliskan “Gelora Brantas” or bangunan berwujud stadion. Gue menggumam, “jangan-jangan gue abis di-PHP-in neh. Syebel!"

             Daripada mandeg di situ aja, gue pun melangkahkan kaki kembali, menuju jalan raya yang ke arah Kusuma Agrowisata Apel. Nah, di jalan raya itu ternyata jalannya menanjak (lagi), Temans. Ngosh.. ngoshan dah! Gue berpapasan —kali ini dengan dua cewek berseragam SMA— pengen nanya letak stadion Gelora Brantas, tapi di sisi lain khawatir juga kalau di-PHP lagi gimana hayo. So nggak jadi nanya deh, tapi feeling gue mengatakan anak SMA tadi abis dari perpus. Bingo! Feeling gue tepat, nggak lama berpapasan dengan mereka, si Amin menampakkan ‘batang hidungnya’.
Ternyata di seberang Amin-lah, stadion Gelora Brantas tegak berdiri. Kala jam menunjuk pukul 16.15 wib, after mlaku-mlaku about 600-800 meter (menurut perkiraan gue yang nggak menguasai ilmu ukur), tiba juga di perpus kebanggaan warga Batu. Akhirnyaaa... *kecup aspal #lebay  (•ˆˆ•) 

And, this is penampakan perpus Amin dari jalan besar masuk Jatim Park 1 :

Ternyata anak SMP tadi nggak salah-salah amat, doi bener nunjukin jalan masuk ke Jatim Park 1. Sayangnya, bukan ke jalan masuk besar, melainkan jalan masuk kecil *jalannya emang kecil sih, kayak gang gitu. Pantesz, gue nggak nemuin Gelora Brantas tadi. Etapi salah gue juga sih keknya, cuma tanya : “di mana pintu masuk Jatim Park 1?”, bukannya “jalan besar masuk Jatim Park 1 yang mana?” sesuai note HP. Oke, lain kali nanyanya lebih tepat deh.  (̾˘̶̀̾̾ ̯˘̶́̾ ̾̾̾'̾̾)̾

            Yup, cukup segitu cerita “how to get there”-nya. Nah, sekarang saatnya membedah ‘perut’ si Amin. FYI, perpus Amin ini berdiri sejak 5 tahun lalu, lho. Tepatnya diresmikan oleh Walikota Batu, Pak Eddy Rumpoko, pada 30 November 2008. Ada prasasti peresmiannya kok, di lantai satu. Selain prasasti, di lantai dasar juga terdapat dua ruang dokter gigi dan satu ruang dokter umum. Layanan kesehatan gratis tersebut beroperasi setiap Jumat dan Ahad mulai pukul 11.00 hingga 16.00 WIB. So, bagi warga Batu yang kurang mampu, boljug tuh berobat ke klinik Amin. Lumayan kan, gratis, hehe.

              Kelar ngintip sebentar ruang klinik di lantai dasar, gue naik ke lantai dua. Sesaat sebelum ke lobby, pengunjung ditunjukin aturan main perpus Amin. Mau tahu aturannya apa aja? Nih, baca sendiri  :p 


          Usai manggut-manggut baca aturan pakai eh aturan main, gue masuk ke lobby. Pertama-tama, seperti biasalah yaa, isi buku tamu dulu. Terus, nitip tas di loker, kuncinya kita yang bawa. Abis itu kita disuguhin pilihan, mau langsung ke ruang baca atau jajan dulu di mini kantin? Dan, gue pilih berbaca-baca dahulu, berjajan-jajan kemudian (´
`ʃƪ). Setelah mengabaikan godaan makanan-minuman di kantin, pengunjung (lagi-lagi) disuruh milih, lurus ke ruang bacaan anak-anak, sementara kanan menuju kontainer utama. Kali ini gue memutuskan lurus aja, mau tahu keseluruhan lantai dua dulu. Jadi selain lobby dan ruang baca anak, di lantai dua ada ruang baca out door, teras kaca bundar dan ruang bundar khusus buat bocah-bocah. Puas lihat-lihat sekilas lantai dua, gue naik tangga ke kontainer utama.

        FYI, perpus Amin tersusun atas tujuh kontainer, dengan tiga kontainer utama yang berbeda warna sesuai jenis peruntukannya. Kontainer biru berisi bacaan populer, hiburan dan umum. Kontainer kuning khusus bacaan wanita (tata boga & busana), sementara merah untuk buku-buku ‘berbau’ iptek. Gue masukin tuh kontainer satu-satu, dan gue dibikin takjub lho, sama tata ruangannya. Kalian sendiri mau tahu banget nggak, penampakan dalam si Amin itu kayak apa? Perhatikan deh jepretan gue di bawah ini.






          Nggak nyangka ya, kontainer yang sejatinya wadah pengiriman barang ekspor-impor (kargo), oleh tangan yang tepat mampu ‘disulap’ menjadi taman baca modern yang menampung ribuan buku. Lantas siapa sih, pemilik tangan kreatif tersebut? Usut muke lo kusut, perpus hibahan dari keluarga Sendjojo dan Jatim Park ini didesain oleh Dpavilion, sebuah firma desain arsitektur aseli Indonesia. Kabarnya, firma tersebut emang dikenal spesialisasi dalam hal ‘sulap-menyulap’ ruang/benda bekas ke dalam bentuk lain yang lebih berguna. Ah, gue jadi ngebayangin ke depannya perpustakaan nggak hanya dari kontainer bekas. Bisa aja dari bus patas bekas atau kereta bekas. Hm... kira-kira Dpavilion mau nggak yaa, terima tantangan gue?  ^o^a            
            After
baca-baca di tiga kontainer utama sekitar dua jam-an, gue turun ke lantai dua. Masuk ke ruang baca anak-anak. Koleksinya tak kalah lengkap dengan bacaan di kontainer biru-kuning-merah. Mulai dari komik, picture book, novel, tutorial book, kumpulan cerpen, kumpulan dongeng, semuanya ada. Dijamin deh, bocah-bocah
demen ngendon lama di sana, wong yang dewasa aja betah, wkwkwk. Ada kali setengah jam-an gue di ruang baca anak. Dan, ini dia selayang pandang ruang baca arek cilik  :p




          
            Abis itu pulang? Belooom. Gue jajan dulu di mini kantin. Maklum, tenggorokan minta dibasahin and ‘kantong’ perut minta diisi. Syukur deh, jajanan di sana relatif terjangkau. Berkisar antara 2000 hingga 6000 rupiah. Nah, pas jajan itulah gue manfaatin tanya-tanya ke mbak petugasnya. Gue deketin mbak yang lagi asik sama gadgetnya. Terus, mulailah percakapan di antara kami. Gue pakai bahasa Indonesia tanpa logat, sementara mbak itu dengan logat Jawanya yang kental.

Gue : “mbak, di sini nggak ada pustakawan ya? Buat ngatur-ngaturin buku gitu...”
Mbak : “Ndak ada petugas khusus untuk itu. Semuanya saya lakukan sendiri, mulai nerima tamu, ngawasin mereka dari CCTV, rapi-rapiin buku, catat buku baru yang masuk, layanin pembeli makanan-minuman...”
*batin gue* “Wuuuiih, si mbak hebrink juga, multifungsi. Ngalahin ABRI yang cuma dwifungsi.” (ˆˆ)v
Gue : “Ooo... jadi emang dari sononya udah ditetepin mbak sendiri yang ngurus segalanya ya, nggak ada rencana nambah petugas pustakawan?”  
Mbak : “Ndak, ndak ada. Saya sendiri.”
Gue : “Terus, ni perpus kenapa dinamain Amin, mbak?”
Mbak : “Yoo... mungkin karena tiap abis doa bilang “amin”. Pas sholat abis Al Fatehah, ucap “amin”. Makanya dikasih nama “Amin”, hehe.”
Gue : “Hoo, kirain ada alasan khusus apaa gitu di balik nama Amin...”
Mbak : “Ndak, ndak ada. Setahu saya sih begitu. Yaah pokoknya, dari nama Amin harapannya perpus ini bermanfaatlah buat penduduk.”
Gue : “Terus mbak, buku-buku di sini asalnya dari mana? Beli atau sumbangan gitu?”
Mbak : “Sumbangan. Ini kan perpusnya hibah dari keluarga Sendjojo dan Jatim Park, jadi isinya pun sumbangan. Masyarakat kalau mau nyumbang buku, monggo silakan.”
.
.
.
dan seterusnya.

            Setelah perut ‘diganjel’ dengan camilan secukupnya, gue ke toilet dulu, baru deh balik ke rumah eyang. Sekitar jam delapan malam, gue on the way to home. Overall, perpustakaan Amin memuaskan pengunjung. Kalau boleh kasih nilai, gue kasih 8-lah. Tapi gue sendiri punya catatan ‘kecil’, dari ‘kacamata’ gue tentunya.

Nilai plus-nya dulu yak :
1) Koleksi buku lengkap. Nggak cuma bacaan hiburan, buku-buku pelajaran atau perkuliahan juga ada. Nggak heran, rata-rata pengunjung Amin adalah anak-anak sekolah dan mahasiswa/wi.
2) Free wifi. Pengunjung bisa internetan gratis di sini.
3) Solokan listrik banyak, di setiap kontainer ada. So, kalau laptop or HP-mu lowbet, nggak perlu khawatir.   
4) Jumlah tempat duduk memadai. Sofa empuk ada, kursi biasa juga ada di kiri-kanan-depan rak buku.
5) Udara di dalam kontainer sejuk coz ber-AC. Sebenarnya tanpa AC pun, menurut gue nggak bakal kegerahan. Secara daerah Batu kan pegunungan, so pasti adem-lah hawanye. Nah, karena ruangan ini ber-AC, pengunjung yang perokok dilarang masuk. Kalau masih mau nekat ngisap rokok sambil baca, lo harus ke ruang batas antar kontainer (ruang baca outdoor). Tapi gue yakin, rokok lo bakal diguyur ama mbak petugas. Wong di aturan mainnya kan, pengunjung emang dilarang merokok. :p
6) Lantai di tiap kontainer tertutup karpet. Walau harus lepas sepatu/sendal, pengunjung nggak bakal kedinginan kakinya.
7) Penerangan di tiap kontainer juga bagus. Jadi, pengunjung tetap nyaman membaca saat cuaca mendung ataupun malam hari.8) Seperti yang udah gue bilang sebelumnya, jajanan di perpus Amin relatif murah. Nggak bawa bekal pun, lo nggak akan kelaparan, asal lo nggak lupa bawa dompet berisi uang secukupnya :p
9) Nah, ini yang bikin gue betah. Perpus Amin nggak hanya menyajikan bacaan lengkap, tapi juga menawarkan pemandangan yang aduhai indahnyo! Bayangin aja, posisi lo baca
menghadap gunung yang terselimut kabut, perbukitan menghijau, pepohonan dengan burung-burung ceriwis. Fa biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban....


Sekarang minus-nya :
1) Pencarian buku masih manual, belum terkomputerisasi kayak OPAC gitu. Padahal, buku di sini jumlahnya ribuan, sekitar 6000 judul. Kalau mesti cari satu-satu, nggak sebentar untuk menemukannya kan? 
2) Walau di beberapa bagian, susunan buku tampak rapi. Tapi di bagian lain, kurang rapi. Gue bahkan mendapati buku yang ‘nyasar’ alias nggak pada tempatnya. Contoh, buku masakan di bawah ini terdapat di rak buku iptek. Harusnya kan, letak buku ini di kontainer kuning.



Maka dari itu, menurut gue sih mesti ada pustakawan di perpus Amin, yang bertugas diantaranya merapikan, mengatur, menataletak buku sesuai peruntukan rak, membantu pengujung yang kesulitan mencari buku, dsb.     
3) Kebersihan kurang terjaga. Nggak hanya toilet yang agak kotor dan beraroma tak sedap. Pas gue ngambil minuman di mini kantin, gue mergokin tikus-tikus kecil keluar dari belakang kulkas. Hiii... geliii. Tapi untung gue nggak menjerit, haha..! ( ̄▽ ̄)
4) Perpus Amin buka dari siang sampai malam, tepatnya mulai pukul 14.00-21.00 WIB. Sayangnya, jam operasi yang sampai malam itu tak dibarengi keberadaan kendaraan umum. Angkot di kota Batu, cuma aktif sampai jam lima sore. Maka waktu itu, gue pulangnya jalan kaki lebih jauh daripada pas berangkat, jalan dari Amin sampai dapat taksi. Dan, ongkos taksinya setara 2 bulan pulsa modem gue, hiks (-̩̩-̩̩̩-̩̩_-̩̩-̩̩̩-̩̩). Tapi emang sih, ketiadaan angkot malam itu bukan tanggung jawab perpus Amin. Hanya masukan aja buat pemkot Batu. Kalau bisa nih, mbok jam operasi angkotnya ditambah. Sampai jam 10 malam gitu lho, kayak angkot di Jakarta. *dug, dug! dilempar apel sama walikota Batu  (•ˆ ˆ•)>

Oke deh, tak terasa lima halaman sudah gue ketik di Microsoft Word. Sebelum mata pembaca memerah coz capek baca tulisan panjang nan membosankan ini, gue mau ngajak dulu warga Batu dan sekitarnya ke Amin. Rek, ayo rek, mlaku-mlaku nang perpus Amin. Juga untuk wisatawan/wati yang lagi pelesiran ke Kota Apel, hayuklah sempatin mampir ke perpus yang berlokasi di Jalan Raya Sultan Agung (seberang Stadion Gelora Brantas). Manfaatkan waktu luang Anda di ‘kebun sayur’.

Bagiku, perpustakaan itu ibarat kebun sayur para sapi muda. -Mao Tse Tung-
  

NB.
- Postingan ini diikutsertakan dalam
Library Giveaway.
- Semua foto dokumentasi pribadi.
- FYI, Batu dan Malang itu berbeda, lho. Dulu Batu memang termasuk wilayah Malang. Tapi sejak tahun 2001, Batu jadi daerah administratif tersendiri dengan nama
resmi Kota Wisata Batu. Jarak Malang-Batu cukup jauh. Contoh, dari terminal Arjosari (Malang kota) naik angkot 1,5 jam-an lebih, hampir 2 jam-lah. Sementara bila naik motor, antara 45-60 menit waktu tempuhnya. Dari Malang Kabupaten bisa lebih lama lagi. Tapi tergantung Malang kabupaten mana juga sih, kalau daerah Pujon yaa deket ke Batu. Pujon-Batu berbatasan langsung soalnya. Ini info tambahan aja, coz nggak sedikit orang yang masih menganggap Batu itu wilayah Malang.   (◦''◦)