Tempat tinggalku di pinggiran
Kalimalang, Jakarta Timur. Saban bulan Agustus hari ketujuh belas, RT kami
menyelenggarakan aneka perlombaan tujuh belasan, mulai kategori
anak-anak hingga dewasa. Sebagai anak-anak, tentu aku antusias menyambut lomba tujuh
belasan, momen setahun sekali bersaing secara sehat dengan teman sebaya. Tapi seringnya sih, aku jadi pihak yang kalah, hiks (ʃ˘̩̩̩_˘̩̩̩ƪ). Betapa tidak, eraku semasa bocah dulu persaingannya super duper ketat *lebay. Lawan terberatku di ajang tujuh belasan adalah kakak beradik Hari dan Seno. Mereka berdua acapkali juara 1-2 di berbagai lomba
yang mereka ikuti. Sampai-sampai saat penyerahan hadiah, kakakku yang jadi
panitia tujuh belasan nyeletuk begini, "Wah, ini mah sama aja kita belanja hadiah buat Hari dan Seno, Seh!"
Mbak Aseh, kakaknya Hari dan Seno cuma bisa
meringis sambil nyengir sapi, "He-eh, maafin adek gue ya, ngeborong hadiah
dari panitia."
Sementara kita-kita yang
pecundang, cuma bisa ngiler bin ngeces pas lihat duo kakak beradik itu
bolak-balik naik podium jadi-jadian untuk pengambilan hadiah. Padahal kakakku lho yang sering ditugaskan belanja hadiah
lomba tujuh belasan *lah, apa hubungannya? c(◦ˆ▽ˆ)v. Hehehe, maksudnya tuh
aku selalu mopeng a.k.a moka pengen sama barang yang dibeli kakak
untuk hadiah bagi juara lomba. Tapi apa daya, meski aku telah sekuat tenaga melancarkan rayuan maut,
kakak tak bergeming.
"Nggak boleh! Kaos ini buat yang menang
lomba. Kalo kamu mau dapet, yaaa kamu harus juara dulu,
Dek!" tukas kakak tatkala aku menampilkan raut memelas supaya
dikasih kaos keren cuma-cuma. Hadiah kaos tuh biasanya untuk
yang juara pertama, buku dan pensil/pulpen juara kedua, serta handuk untuk
juara ketiga.
"Abisnya Hari-Seno kehebatan sih, Kak! Jadi
adek kalah melulu," ujarku menyuarakan frustasi.
"Yaaa... kamu harus berusaha lebih
hebat dari mereka lah, Dek!" lanjut kakak yang lagi membungkus hadiah satu
per satu bersama temannya. Aku memanyunkan bibir
dua senti sebagai jawaban ucapan kakak tadi. <(`^´)>
Bandul nasibku berubah ke arah
yang positif ketika Hari beranjak remaja. Kebetulan di RT
kami ada ketentuan tak tertulis, anak-anak yang sudah kelas 2 SMP (kelas VIII)
dilarang menjadi peserta lomba tujuh belasan lagi. Perannya beralih menjadi
panitia tujuh belasan. Buat regenerasi peserta, kata Pak RT kala ditanya alasan
ketentuan tersebut. Duileh, udah
kayak atlet aja ya, pakai regenerasi segala, xixixi. Makanya begitu tahu Hari telah ‘pensiun’, sebongkah energi dahsyat
tiba-tiba bergumul di tanganku, lalu kusalurkan energi yang meluap-luap itu ke tembok
terdekat hingga retak *boong banget, mau dijewer bokap apa emangnya gegara
ngerusakin tembok? ( ̄▽ ̄)
Betul sih masih ada Seno, tapi
setidaknya kan saingan beratku berkurang satu *heuheu. Jadilah tujuh belasan
pertama tanpa Hari sebagai peserta, prestasiku dalam lomba menanjak dikiiiit.
Nggak langsung juara satu sih, tapi juara tiga dulu, hehehe. Kalau tak salah,
juara tiga di lomba balap kelereng. Lumayan lah, sebagai jawara
pemula (◦ˆ ⌣ ˆ◦). Usai penyerahan
hadiah, semua anak yang juara 1-2-3 dijejer di atas podium jadi-jadian buat
diabadikan dalam kamera. Itulah pertama kalinya aku masuk ‘hall of fame’ *halah,
gaya beut dah. Ada kebanggaan tersendiri gitu, bisa bersanding dengan
teman-teman lain sesama juara. Soalnya kan, tahun-tahun sebelumnya aku cuma
bisa mopengin para jawara berfoto ria di podium.
Baru deh tujuh belasan tahun depannya
lagi, aku bisa juara pertama lomba balap kelereng. Meski
awalnya sempat pesimis juga begitu tahu kompetitornya kelas kakap, untung saja
nyaliku nggak sekelas teri, jadi masih bisa bersaing dengan mereka.
Ngomong-ngomong tentang persaingan, sesaat sebelum babak final lomba kelereng
kala itu, kulihat seorang anak yang abis berenang di Kalimalang, sengaja
membasahi kelereng lalu menjatuhkannya ke tanah berpasir. Aku langsung tahu
tujuannya melakukan itu untuk menghambat laju kelereng di atas sendok agar tak
mudah jatuh. Nggak mau kalah cerdik, aku juga menerapkan strategi khusus. Nggak
kok, aku nggak basahin kelereng dengan air liur lalu mengotorinya dengan tanah.
Itu strategi yang menjijikkan menurutku. Aku pilih siasat yang lebih ‘cerdas’-lah
yakni dengan selektif memilih sendok. Kata orang kan, hidup ini pilihan. Jadi
aku sengaja memilih sendok yang lengkungannya agak tinggi biar kelerengnya
nggak mudah bergelinding ke bawah. Dan ternyata pilihanku sangat jitu, buktinya
bisa ngalahin peserta yang pakai kelereng dekil itu. <(*¯︶¯*)/
Lomba balap kelereng
sumber : dari sini
Selain juara lomba kelereng, aku menjadi runner up lomba balap karung dan lomba lari bendera. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, aku nggak pernah ikut lomba balap karung lho. Sekalinya nyoba, eh langsung juara dua. Alhamdulillah... tanpa “ya”, hehe. Sama kayak lomba kelereng, awalnya aku pesimis juga bisa menang balap karung. Bisa masuk babak final aja, udah syukur. Eh, nggak tahunya di 10 meter terakhir aku bisa ngebut lompatnya, lalu jatuh dan juara. Lho, kok bisa? Jadi gini, di 10 meter terakhir jelang finish, posisiku tertinggal. Aku tingkatin intensitas dan jarak lompatan supaya bisa nyusul. Taktik itu berhasil, tapi efeknya beberapa senti dari garis finish tubuhku goyah dan sukses nyungsep. Untungnya pas nyungsep, tanganku tepat menyentuh garis finish. Panitia langsung menetapkan aku juara kedua lomba balap karung. Nyungsep yang berkah bukan? (✪‿✪)
Selain juara lomba kelereng, aku menjadi runner up lomba balap karung dan lomba lari bendera. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, aku nggak pernah ikut lomba balap karung lho. Sekalinya nyoba, eh langsung juara dua. Alhamdulillah... tanpa “ya”, hehe. Sama kayak lomba kelereng, awalnya aku pesimis juga bisa menang balap karung. Bisa masuk babak final aja, udah syukur. Eh, nggak tahunya di 10 meter terakhir aku bisa ngebut lompatnya, lalu jatuh dan juara. Lho, kok bisa? Jadi gini, di 10 meter terakhir jelang finish, posisiku tertinggal. Aku tingkatin intensitas dan jarak lompatan supaya bisa nyusul. Taktik itu berhasil, tapi efeknya beberapa senti dari garis finish tubuhku goyah dan sukses nyungsep. Untungnya pas nyungsep, tanganku tepat menyentuh garis finish. Panitia langsung menetapkan aku juara kedua lomba balap karung. Nyungsep yang berkah bukan? (✪‿✪)
Untuk lomba balap karung ini, aku merasa terbantu banget sama basket yang biasa kumainkan di SD. Nah, pas main basket kan sering lompat-lompat juga tuh. Makanya tekniknya kepake deh pas lomba balap karung, hoho.... (^o^)
Lomba lari bendera lain lagi
ceritanya. Dari awal aku cukup yakin bisa menang, minimal juara ketigalah.
Maklum selain rutin main basket di sekolah, kemampuan lariku terlatih juga di
rumah. Gimana nggak terlatih coba, di sekitar rumah aku punya ‘sparring
partner’. Dialah ayam jago milik tetangga. Nggak tau kenapa tuh ayam, hobi
banget ngajak aku sprint hampir tiap
hari. Makanya, tetangga pada tahu aku larinya kenceng. Kalau kata operator
seluler, nge-flash gitu, hehe. Dari
gemblengan rutin ‘suhu’ ayam itulah, wajar dong aku pede juara lomba lari
bendera. Dan terbukti benar keyakinanku untuk menang lomba lari. Aku hanya
kalah dari Seno, yang emang biangnya juara.
sumber : dari sini
Itulah masa kesuksesan perdanaku menggondol
gelar dobel di ajang tujuh belasan. Butuh waktu sekitar 4 tahun sejak aku aktif
jadi peserta lomba tujuh belasan atau 2 tahun setelah Hari ‘pensiun’ untuk bisa
juara kesatu. Wow, lama juga ya! <(^⌣^)
Sayangnya, sekitar tahun 2000-an awal
tatkala jalan pinggiran Kalimalang mulai dibangun pondasi tol Becakayu
(Bekasi-Cawang-Kp Melayu), lomba tujuh belasan terpaksa terhenti. Pihak
berwenang melarang kami mengadakan acara tersebut agar tak mengganggu jalannya pembangunan.
Selama vakumnya lomba tujuh belasan, hanya acara syukuran saja yang rutin
digelar. Namun belakangan, lomba tujuh belasan kembali diselenggarakan di lokasi
yang biasa, yakni di jalan tepi Kalimalang. Soalnya pembangunan jalan tol
Becakayu tersendat, jadi kami diperbolehkan lagi mengadakan lomba tujuh belasan
di bawah tiang-tiang beton tol Becakayu. Meski demikian, ketika bertepatan
dengan bulan suci Ramadhan, lomba tujuh belasan dihentikan untuk sementara
waktu. Aku berharap semoga tahun depan, lomba tujuh belasan kembali digelar di
tepi Kalimalang. Tak bisa dipungkiri, lomba tujuh belasan selain dipandang
sebagai salah satu cara untuk mengisi kemerdekaan, juga
merupakan wadah yang tepat bagi anak-anak untuk merasakan kompetisi yang
sebenarnya. Agar mereka tak melulu berkompetisi semu di PS, PSP, Nintendo
maupun game online. Yaaa... seperti aku dulu yang cukup antusias bersaing di
arena lomba tujuh belasan, meski tak selalu meraih kemenangan sih..... (◕‿◕)
NB :
Tulisan ini diikutkan dalam Kontes Kenangan Bersama Sumiyati-Raditcelluler.
Tulisan ini diikutkan dalam Kontes Kenangan Bersama Sumiyati-Raditcelluler.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar