Rating: | ★★★★★ |
Category: | Movies |
Genre: | Drama |
Starring : Brendan Fraser (as David Greene), Matt Damon (as Charlie Dillon), Chris O'Donnell (as Chris Reece), Randall Batinkoff (as Rip Van Kelt), Ben Affleck (as Chesty Smith), Amy Locane (as Sally Wheeler)
Film ini mengisahkan perjuangan siswa SMA keturunan Yahudi bersekolah di sekolah khusus laki-laki. David Greene, pemuda keturunan Yahudi mendapat beasiswa dari sekolah St Matthews. Beasiswa diperoleh berkat keberhasilan mengantarkan sekolahnya yang dulu menjuarai kompetisi American Football di tingkat nasional. Karena zaman itu ada sentiment negative tehadap Yahudi, maka ayahnya Greene dan pelatih football yang bersimpati padanya, minta Greene menyembunyikan identitasnya sebagai Yahudi. Greene menuruti permintaan mereka. Greene pun bisa berbaur dengan teman-teman barunya, terutama dengan geng elite pimpinan Charlie Dillon.
Konflik bermula saat penobatan Hall Of Fame, di mana kakaknya Dillon terpilih sebagai alumni football terbaik St Matthews. Setelah acara penghargaan itu, pertandingan football antara St Matthews versus Winchester dimulai. Dillon sebagai generasi kelima yang bersekolah di sana, ingin menunjukkan penampilan terbaik di depan keluarganya. Namun karena alasan taktik, Dillon dikorbankan. Ia diminta pelatih berperan sebagai pembuka jalan bagi Greene untuk mencetak skor kemenangan. Taktik itu berhasil. Greene kemudian dielu-elukan, Dillon jadi iri melihatnya.
Konflik bertambah runyam saat pesta kemenangan berlangsung. Dillon cemburu melihat Greene berdansa dengan Wheeler, gadis yang disukainya. Ia bermaksud menyudahi dansa Greene-Wheeler, tapi Wheeler menolak. Dengan tegas, Wheeler menyatakan kalau Dillon bukan pacarnya. Dillon malu Wheeler menyatakan itu di depan Greene. Dillon dan Wheeler pun terlibat perdebatan. Greene yang juga menyukai Wheeler, membelanya. Dengan sopan, Greene menyatakan kalau ia dan Wheeler sudah jadian. Dillon tersinggung, ia langsung pergi.
Situasi makin ’panas’ saat Greene dan Dillon beserta gengnya, mandi bareng usai pesta. Greene yang tak tahu perasaan Dillon, dengan lugunya memuji penampilan Dillon dalam pertandingan tadi. Dillon menanggapi dingin pujian itu. Ia lantas melemparkan lelucon yang intinya mengejek Yahudi. Greene tersinggung. Mereka pun bertengkar. Sejak identitasnya sebagai Yahudi terbongkar, Greene mulai dijauhi teman-temannya. Berulangkali ia mendapat perlakuan diskriminatif. Greene diolok-olok sebagai sampah masyarakat dan bangsa yang serakah. Hubungannya dengan Wheeler pun terpengaruh. Wheeler memutuskan Greene. Puncak ketegangan antara Greene-Dillon terjadi saat Dillon yg mencontek, malah menuduh Greene sebagai pelakunya.
Terlepas dari topik Yahudi, saya menyukai film ini. Salah satu poin yang membuat saya tertarik adalah pandangan tentang mencontek. Selain melanggar kode etik, tindakan mencontek sebenarnya juga melecehkan harga diri si pelaku, guru, sekaligus mengancam reputasi sekolah. Kalau di Indonesia, mencontek dianggap ’wajar’ dilakukan saat ulangan atau ujian. Sebab, mencontek dipandang sebagai ’jalan pintas’ menuju hasil yang baik, ketimbang mengerjakannya sendiri. Kalaupun si pencontek dihukum, hukumannya relatif ’ringan’ dan hanya berdampak pada si pelaku saja.
Sebaliknya, film ini justru menggambarkan betapa perilaku mencontek itu berdampak luas. Kertas contekan Dillon yang jatuh di dekat pintu, ditemukan oleh guru Sejarah. Keesokan harinya, Guru minta si pelaku mengakuinya. Kalau tidak ada yang mengaku, terpaksa seluruh siswa dinilai tak lulus mata pelajaran Sejarah. Sejak itulah, seluruh siswa saling menuduh. Namun karena ada sentimen Yahudi, mayoritas menuduh Greene sebagai pelakunya. Greene pun pasrah dan menyatakan siap ke ruang kepala sekolah untuk mengakuinya (baca: berbohong di depan kepala sekolah). Begitu tiba di ruang kepala sekolah, Van Kelt menghilangkan tuduhan pada Greene. Van Kelt mengaku kalau dia melihat Dillon mencontek, meski awalnya ia nggak percaya dengan Dillon, teman sekamarnya yang dikenal cukup pintar. Dillon akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Sementara Greene diizinkan bersekolah di sana, meski ia Yahudi. Pesan yang ingin disampaikan film ini pun jelas, betapa keteguhan hati membantu kita bertahan dalam situasi sulit.
Daya tarik lain film ini terletak pada akting pemeran utamanya yang jempolan. Selain itu, mata penonton akan segar melihat tampang-tampang belia Brendan Fraser, Matt Damon, Chris O’Donnell dan Ben Affleck, hehehe… Namun kekurangannya yang hingga kini masih mengganjal, tak dijelaskan bagaimana Dillon bisa mengetahui identitas Greene sebagai Yahudi. Mungkin itu yang sedikit terlewat oleh sutradara/penulis skenarionya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar