Menjadi satpam enggak pernah
terbayangkan sebelumnya oleh gadis lugu bernama Jujuryanti. Soalnya sewaktu
kelas 3 SMA, Jujur masih bingung mau melakukan apa setelah lulus nanti. Apakah
mau melanjutkan ke perguruan tinggi atau langsung kerja. Babehnya menyarankan
lanjut kuliah, sementara Emak pengen Jujur langsung kerja.
"Kalau dipikir-pikir, saran Emak lebih masuk
akal. Kerja kan buat cari duit. Sementara kalau kuliah, justru ngeluarin duit.
Nah, duitnya dari mana? Cari beasiswa juga belum tentu dapat," gumam Jujur
suatu hari.
"Tapi Babeh bilang, kalau jadi Sarjana, cari
kerjanya lebih gampang daripada lulusan SMA. Duh, Jujur jadi bingung!"
lanjut Jujur bergumam.
Setelah berhasil mengusir
kebingungan, Jujur pun memutuskan untuk cari kerja saja. Prinsipnya kerja apa
saja, yang penting halal, biar bisa segera membantu ekonomi keluarganya. Sejak
itulah, Jujur rajin ke kios koran Bang Atep. Tujuannya bukan untuk membeli
koran, tapi lihat iklan lowongan kerja secara gratis!
"Pagi, Bang Atep! Numpang baca ya!" sapa
Jujur pada Bang Atep yang lagi mengatur pembagian koran kepada para loper.
"Neng Yanti, masih belon nyantol juga
kerjaannya?" tanya Bang Atep. Cuma Bang Atep yang memanggilnya Yanti.
"Belum, Bang. Masih cari," jawab Jujur
seraya mengambil sebuah koran untuk dibaca.
"Emang Neng Yanti, cari kerja apa sih?"
"Apa aja, Bang. Asal halal," Jujur
menjawab sembari membolak-balik halaman koran.
"Apa aja, asal halal?" Bang Atep
mengulang ucapan Jujur, "kalau jadi satpam mau nggak?"
***
"Hah, satpam?!" Babeh terkejut ketika
Jujur mengutarakan niatnya menjadi satpam. Combro yang tadi mau disantapnya,
sampai-sampai ditaruh lagi di piring.
"Iya, Beh, satpam. Kata Bang Atep, kantor
temannya lagi butuh sekuriti," Jujur ngembat combro yang nggak jadi
dimakan Babeh.
"Cari sekuriti kok di sini, sih? Bukannya di
Jepang?" kata Babeh terheran.
"Kenapa Jepang, Beh?" tanya Emak
bingung. Jujur sebenarnya juga nggak ngerti maksudnya Babeh itu apa. Ngomongin
satpam, eh tiba-tiba muncul topik Jepang. Tapi karena mulutnya lagi ngunyah
combro, Jujur belum bisa mengutarakan kebingungannya. Untung, sudah diwakili
Emak.
"Lha iya, sekuriti itu bukannya bunga khas Jepang?"
Jujur keselek combro. Entah kenapa combronya jadi
sulit ditelan, usai Babeh mengatakan hal yang salah.
"Ya ampun, Babeh. Itu mah sakura, bukan
sekuriti. Sekuriti itu petugas keamanan, Beh, alias satpam!" Emak
mengoreksi.
"Hooo... Sekuriti itu satpam ya? Babeh ini
kan cuma tamatan SD, Mak. Jadi maklum kalau Babeh rada-rada nggak mudeng," tutur Babeh berkilah.
"Haduh Babeh, gimana sih? Untung jari Emak
nggak ketusuk jarum gara-gara Babeh
salah jawab," gerutu
Emak yang lagi menjahit baju pesanan.
"Jadi Beh, boleh nggak Jujur jadi
satpam?" tanya Jujur usai minum, menghilangkan
tersedaknya.
Babeh berpikir sejenak sebelum menjawab,
"Boleh, asal temennya Bang Atep harus menghadap Babeh dulu kalau mau
rekrut kamu."
"Yaelah Babeh, emangnya Jujur mau dilamar? Justru
Jujur mau ngelamar pekerjaan, Beh," sewot Jujur. Emak sampai geleng-geleng kepala.
"Yaudah, Babeh bolehin kamu lamar pekerjaan
itu, asal...."
"Asal apa, Beh?" kali ini
Jujur ngemil pisang goreng.
"Asal kamu siap jalaninnya.
Kamu sudah tahu belum resiko jadi satpam?" Babeh memandang putrinya lekat-lekat.
"Ng...paling disuruh jaga malam, Beh,” jawab
Jujur, matanya menatap langit-langit, “Ah, tapi nggak apa-apa kok, Beh. Jujur kan belum nikah, jadi boleh dong pulang pagi."
"Tapi kamu kan masih punya Babeh sama Emak,”
Babeh mengingatkan.
"Hehehe... Iya, Beh. Jadi, boleh ya Jujur
kerja di kantor temannya Bang Atep?"
Babeh nggak menjawabnya secara langsung. Cuma
dengan sekali anggukan kepala, sudah membuat Jujur girang bukan main. Jujur
sampai memeluk Babehnya dengan tangan berminyak bekas gorengan.
***
Hari pertama kerja jadi
satpam, tentu membuat Jujur bingung. Ia belum tahu tugas dan tanggung jawabnya
apa saja. Untungnya Pak Salit, kepala bagian keamanan, memberikan pembekalan
terlebih dulu kepada Jujur dan sejumlah rekannya sesama karyawan baru. Selama
sebulan ke depan, Jujur dan rekan dilatih bela diri selama satu jam tiap
harinya. Dalam setiap sesi latihan, Pak Salit selalu mengingatkan tugas, fungsi
dan tanggung jawab satpam. Jujur berusaha memahami apa yang harus, boleh dan
dilarang untuk dilakukan ketika bertugas.
”Kerja jadi satpam itu harus berani, nggak boleh
takut. Sebab, tanggung jawab satpam itu nggak ringan. Kita harus melindungi dan
mengamankan lingkungan kerja dari setiap gangguan keamanan. Jadi setiap tamu
yang datang, harus diperiksa. Tanda pengenalnya ditahan. Tujuannya untuk mendeteksi
secara dini penyusup...” papar Pak Salit yang jarang tersenyum ketika bertugas.
”Eee... Pak Salit, emangnya satpam itu nggak boleh
takut sedikit pun ya? Begini, soalnya Jujur agak takut sama ayam yang
masih hidup, Pak. Nggak tahu kenapa, ayam-ayam tuh suka
ngejar-ngejar Jujur. Padahal Jujur kan nggak pernah ngajak main kejar-kejaran,”
ungkap Jujur terus terang.
Pak
Salit sempat dibuat melongo sejenak oleh pengakuan Jujur. Baru kali ini ia
memperoleh pertanyaan ’ajaib’ dari stafnya. Sementara rekan-rekan Jujur berusaha keras menahan tawa melihat raut wajah terkejut Pak Salit. Tampak
sekali Pak Salit kesulitan menyusun jawaban yang tepat untuk pertanyaan Jujur
tadi.
”Ehm, sebaiknya memang nggak punya rasa takut. Tapi bukan berarti nggak boleh takut sama
sekali. Kalau kamu takut sama ayam, nggak apa-apa. Asalkan ketika berhadapan dengan
penjahat, kamu harus berani. Penjahat kan jauh lebih berbahaya daripada ayam,” respon Pak Salit dengan pemilihan kata yang hati-hati.
Jujur
manggut-manggut, sekaligus lega rasanya diperkenankan takut terhadap ayam. Tapi
masih ada yang mengganjal, akhirnya ia bertanya kembali.
”Lalu Pak, kan tadi bapak bilang. Tamu yang datang,
tanda pengenalnya harus ditahan. Misalkan tamunya nggak punya tanda pengenal, gimana Pak menahannya?”
Kening Pak Salit berkenyit, ”maksudnya nggak punya
tanda pengenal itu gimana?”
”Kayak Jujur nih, Pak. Ada tanda pengenal di siku
sebelah kanan. Ini tanda dari orok udah ada, Pak. Lantas gimana kalau tamunya
nggak punya tanda pengenal kayak begini?” ucap Jujur sambil menunjukan tanda
lahir di siku tangan kanannya.
Pak
Salit memijat keningnya. Ia nggak habis pikir, bagaimana petugas HRD bisa meloloskan
Jujur sebagai karyawan kantor ini. Sebagai petugas keamanan pula yang menurutnya
selain harus berani, juga dituntut cerdas agar mampu mengambil keputusan cepat
dan tepat.
”Begini, Jur. Tanda pengenal itu bukan yang
terdapat pada fisik seseorang. Melainkan tanda pengenal yang diakui
legalitasnya seperti KTP, SIM, kartu pelajar, dan sebagainya,” jelas Pak Salit
dengan sabar. Rekan-rekan Jujur cuma bisa senyum dikulum.
”Terus Pak, setiap tamu yang datang kan harus
diperiksa ya?”
”Ya.”
”Apanya yang diperiksa, Pak? Soalnya Jujur bingung
kalau harus memeriksa badan tamu. Kalau tamunya laki-laki gimana? Kan
bukan mahram, Pak. Lalu memeriksa tasnya tamu Jujur juga ngerasa nggak enak. Soalnya isi tas kan perivasi, Pak.”
Pak
Salit kembali mengelus-elus dahinya, sambil berjalan mondar-mondir seperti
troli di swalayan. Kali ini dia berpikir, Jujuryanti itu
sebenarnya kritis atau lemot sih?
Masa, keterangan yang sudah dijelaskan dengan gamblang tadi masih
dipertanyakan.
”Pokoknya periksa itu, ya diperiksa aja tamunya. Mau periksa tubuh kek, periksa tas kek,
terserah. Yang penting sebelum tanda pengenalnya ditahan, tamu itu harus melalui
pemeriksaan terlebih dahulu. Ada lagi yang perlu dijelaskan?” tandas Pak Salit sambil
mengatur napas untuk mengatur emosi. Ada rasa gemas yang sangat menguasai dadanya.
Jujur
tertegun sejenak untuk mencerna penjelasan Pak Salit tadi, sebelum ia
menggelengkan kepala sebagai tanda mengerti. Pak Salit mensyukurinya dengan menghembuskan napas lega.
”Baguslah kalau sudah mengerti. Sekarang bapak
akan membagikan perlengkapan kerja kalian,” tukas Pak Salit. Ia
kemudian membagikan buku saku, senter, handy
talkie (HT), semprotan gas dan alat kejut listrik satu per satu kepada
Jujur dan rekan-rekan. Jujur yang seumur-umur belum pernah punya ponsel, girang
bukan kepalang saat menerima HT.
”Pak Salit, ini HP buat nelepon bapak ya kalau ada
penjahat?” tanya Jujur sembari menatap mesra HT di tangannya.
Pak Salit geleng-geleng dangdut eh kepala. Entah bagaimana lagi ia harus menilai anak buahnya itu. Sebenarnya
kalau Pak Salit punya wewenang menentukan penerimaan tenaga kerja, ia tak sudi
menerima karyawan seperti Jujur. Tapi karena itu bukan wewenangnya, maka ia
harus membulatkan tekad untuk sabar menghadapi anak buah ’unik’ seperti Jujur.
”Itu bukan handphone,
tapi handy talkie,” Pak Salit
mengoreksi.
”Oh, ini handy talkie tho….
Eh, handy talkie itu apaan ya, Pak?”
Gubrak! Kata
anak gaul, capeeek deeh!
“Yaa... itu alat untuk berhubungan dengan petugas keamanan lain. Jadi, petugas di berbagai pos
harus saling berkomunikasi guna mencegah hal-hal yang tak diinginkan,” terang
Pak Salit.
“Hm, kalau gitu nggak bisa buat smsan ya, Pak?” komentar Jujur seraya
meraba-raba HT baru.
Arrgh…! Rasanya Pak Salit ingin sekali berteriak lantang
atau mengguncang-guncangkan kepala Jujur biar otaknya encer. Entah pertanyaan konyol apa lagi yang
bakal dilontarkan oleh Jujur kepadanya.
”Kan tadi bapak bilang, itu handy talkie, bukan HP. Jelas nggak bisa buat smsan, tapi bisa
untuk berkomunikasi dalam jarak jauh!” ucap Pak Salit mulai sedikit emosi.
”Jauhnya berapa kilo meter, Pak?”
”Lima meteran,” sahut Pak Salit agak
nyolot.
”Terus ini nggak pakai pulsa kan ya, Pak?”
”Astaga,
anak ini!” Pak Salit mangkel, kesel, rasanya pengen nelenin
Jujur bola bekel.
***
Pada
masa awal karirnya, Jujur merasakan betapa beratnya tugas sebagai satpam,
khususnya ketika pembekalan teknik bela diri. Maklum, sebelumnya Jujur tak menguasai satu pun
teknik bela diri, kecuali teknik lari cepat dari kejaran ayam. Selama itu pula, Jujur mati-matian menguasai jurus-jurus bela diri yang diajarkan Pak
Salit.
Kini, hampir dua bulan
Jujuryanti bekerja sebagai satpam wanita di kantornya. Ia mulai merasakan
nikmatnya menjadi satpam, salah satunya tubuh yang makin atletis. Dahulu
jangankan otot, tak ada penampakan tulang yang menonjol saja disyukuri sekali
oleh Jujur. Maklum, tubuhnya memang setipis keripik alias kerempeng.
Menginjak bulan ketiga, cobaan
mulai menerpa Jujur. Untuk pertama kalinya sejak ia bekerja di sana, kantornya
kebobolan. Menurut laporan yang diterima Pak Salit, sebuah CD berisi data
rahasia perusahaan telah hilang. Karena perkiraan kejadian berlangsung ketika
Jujur bertugas malam, ia pun diinterogasi. Tapi Jujur tak sendiri, bersama
sejumlah rekannya yang juga bertugas malam diperiksa.
”Sumpah, Pak. Bukan Jujur yang mencurinya. Lagian
juga buat apa Jujur mencuri CD kalau komputer aja Jujur nggak punya,” cetus Jujur kepada Pak Roland, kepala Departemen TI. Bersama
Pak Salit, Pak Roland menginterogasi orang dalam.
”Apa kamu yakin anak buahmu ini berkata jujur, Pak
Salit?” tanya Pak Roland menunjuk Jujuryanti.
”Saya 300 persen yakin, anak ini menjawab apa
adanya,” nada Pak Salit terdengar tegas.
”Yakin deh sama saya, Pak. Babeh sama Emak namain
saya Jujuryanti, pastinya berharap saya ini jadi orang yang jujur,” sambung
Jujuryanti menguatkan opini Pak Salit.
”Lalu siapa dong pelakunya kalau semuanya pada
nggak ngaku begini? Hendri, staf saya yang memegang kunci lemari penyimpanan CD
bilang, dua hari lalu ia masih melihat CD itu di lemari...” Pak Roland
terdengar mulai putus asa. Ia khawatir CD itu disalahgunakan.
Jujuryanti dan beberapa koleganya mengangkat bahu
secara bersamaan. Sementara Pak Roland mendesah kecewa.
***
Keesokan
harinya, seperti biasa Jujuryanti tiba di kantor sore hari menjelang malam. Melihat
dua mobil polisi parkir di halaman kantornya, Jujuryanti langsung menduga
perusahaan mulai melibatkan kepolisian. Benar saja ketika Jujuryanti baru akan
mengisi absen kehadiran, namanya langsung disebut-sebut oleh Pak Salit melalui
HT. Ia diminta menjaga keamanan area sekitar ruang TI, sementara polisi
melakukan penyelidikan di sana.
Merasa
tenaganya dibutuhkan secepatnya, Jujuryanti segera mengisi absen dan menuju ke
lantai lima. Sesampainya di lantai lima, Jujuryanti terkejut melihat police line membentang di jalan masuk
Departemen TI. Jujuryanti sempat bingung, seumur-umur dia melihat police line cuma di televisi. Kini di
saat ia harus bekerja, malah dihalangi oleh garis berwarna kuning itu. Tapi
cepat-cepat Jujuryanti ingat pesan bosnya, ”Eh iya, tadi kan Pak Salit bilang
Jujur menjaga area sekitar Departemen TI, bukan Departemen TI-nya. Berarti
Jujur ngawasinnya dari sini aja, pantau siapa aja yang ke lantai 5.”
Karena
Jujuryanti nggak neko-neko dalam bertugas, ia pantengin terus daerah sekitar
lift. Ia perhatikan orang-orang yang keluar-masuk lift. Ia tak ingin lengah
sedikit pun. Sejauh
pantauannya, cuma polisi, beberapa orang penting perusahaan dan segelintir staf
TI yang hilir mudik di lantai lima. Tapi tak beberapa lama kemudian, Utami,
salah satu rekan kerjanya Jujur keluar dari lift. Utami terlihat senang begitu
melihat Jujuryanti.
”Jujur, ternyata kamu di sini ya. Kucariin tadi di
bawah nggak nemu-nemu,” ujar Utami ketika berjalan menuju Jujuryanti.
”Lha kan ada HT, kenapa nggak dipake?”
”HT-ku ada di loker. Entah kenapa kunci loker
macet, jadi lokernya nggak bisa kebuka,” Utami beralasan.
”Hooo... gitu. Eh, ngomong-ngomong ada perlu apa Tami mencari
Jujur?”
Utami mengajak Jujur ke pojokan,
Jujur coba mengelak, ”Tami, Jujur harus mengawasi lift.
Kamu mau bawa aku ke mana sih?”
“Ssst…” Tami mengisyaratkan untuk tak
bersuara, tapi tetap menggiring Jujur ke pojokan.
”Kamu mau apa sih?” Jujuryanti
memelankan suaranya.
“Begini, aku mau menawarkan
kesaksian palsu,” Tami berbicara dengan suara dikecilkan juga.
“Hah, kesaksian palsu?” Jujuryanti
kelepasan meninggikan suaranya.
“Ssst…iya, kesaksian palsu.
Maksudnya, kamu dan aku mengaku kepada polisi kalau si Pakis-lah yang mencuri CD itu.”
“Boong dong kalau begitu?” celetuk Jujuryanti.
“Eee, iya bohong sedikit. Tapi kan
ini untuk kebaikan bersama, supaya kasus ini cepat selesai. Kalau kasus cepat
selesai, kantor kita nggak bakal digeledah polisi lagi,” jelas Utami masih dengan
suara dipelankan.
Jujur berpikir sejenak, menimbang alasan yang
dikemukakan Tami. “Eh, tapi emangnya polisi bakal percaya sama pengakuan kita? Buktinya apa kalau Mas Pakis itu pelakunya?”
“Ehm, buktinya emang nggak ada...” jawab
Tami, lalu kemudian ia teringat sesuatu. “Oh ya, bulan lalu Si Pakis kan kepergok nilep HP pegawai yang ketinggalan di
toilet. Polisi pasti percaya deh!”
“Tapi Tam, boong sedikit ataupun
banyak kan sama-sama dosa. Itu kata guru ngaji Jujur waktu kecil dulu,” kata Jujur berusaha menolak
ajakan Tami secara halus.
Ini orang
diajak kongkalikong susah amat, sih! Ada aja alasannya, gerutu Tami dalam hati.
“Yaelah Jujur, sekali-kali napa kamu jangan sok
alim gitu. Lagian juga ini demi kebaikan kantor kok. Supaya nggak didatangin
polisi, biar nggak dibilang aneh-aneh sama orang luar. Ya, ya, mau ya?”
***
Jujuryanti
bingung menanggapi ajakan Utami untuk
menuduh rekan kerjanya sendiri. Di sela-sela waktu istirahatnya, Jujur sampai bela-belain menelepon tetangga
biar bisa curhat sama Emak. Meski Jujur tahu, jam telah menunjukkan pukul 22,
waktu yang cukup malam untuk menelepon, tapi Jujur merasa harus berbicara
dengan Emak. Maka Jujur pun minta tolong Mas Pipen, tetangga yang mengangkat
telepon, untuk memanggil Emaknya.
”Jur, kamu nggak salah ngira, malam-malam begini
bangunin Emak?” suara Emak di seberang sana terdengar dongkol.
”Maaf deh, Mak. Tapi ini penting, tentang kasus
pencurian CD, Mak.”
”Emangnya ada apa dengan CD-nya?”
”Bukan CD-nya, Mak. Tapi tadi Tami, temanku, ngajak kasih pengakuan palsu.”
”Hah, pengakuan palsu? Kayak rambut aja pake
palsu-palsu segala,” komentar Emak
setengah mengantuk.
”Taelah Mak, bukan rambut palsu, tapi pengakuan
palsu. Maksudnya tuh, Jujur dan Tami mengaku kepada polisi kalau
yang mencuri CD itu Mas Pakis.”
”Ada buktinya nggak kalau Si Kipas itu pelakunya?” tanya Emak sambil menguap.
”Pakis Mak, bukan Kipas,” Jujur mengoreksi, ”Nggak
ada buktinya sih, Mak. Justru Jujur diminta mengakui kalau itu perbuatannya Mas
Pakis.”
”Wah, kalau gitu fitnah itu namanya. Jangan mau Nak,
disuruh begitu. Ingat, Allah
Maha Melihat dan Mengetahui. Kamu tolak aja tawaran itu,” saran Emak kepada Jujur.
”Tapi Mak...”
”Sudahlah, kamu kerja aja yang
bener. Masalah pencurian biar polisi yang nanganin. Udah
ya, Emak ngantuk nih, mau lanjut tidur. Lagian juga nggak enak malem-malem
pakai telepon tetangga.”
”Iya deh, Mak. Assalamualaikum...”
”Waalaikumussalam.”
***
Setelah
curhat sama Emak, entah kenapa hati Jujur jadi tenteram. Mungkin karena wejangan
Emak ampuh menenangkan hati Jujur yang galau. Bila nanti bertemu dengan Tami,
Jujur akan memberi jawaban sesuai yang disarankan Emak. Tapi sebelumnya,
Jujuryanti mau ke toilet dulu. Sejak tiba di kantor tadi, dia belum buang
hajat.
Baru
saja Jujuryanti mau masuk ke salah satu toilet, didengarnya samar-samar suara
orang bercakap-cakap dari toilet sebelah. Jujur sampai menunda keinginan buang hajatnya, untuk menangkap suara itu lebih jelas.
”Mas Hen, tadi aku udah coba bujuk Si Anak Kampung
yang jujur banget itu buat kerjasama dengan kita. Dia belum bisa kasih jawaban,
minta waktu untuk mikir-mikir dulu. Tapi dia janji mikirnya nggak lama. Jadi
nanti apapun jawabannya, akan aku rayu dia biar mau kongkalikong sama kita,”
suara seseorang dipelankan. Jujuryanti syok mendapati namanya disebut-sebut,
sampai dikatain anak kampung segala. Ditambah lagi, dia merasa
dimanfaatin oleh orang itu, makanya Jujuryanti jadi geram. Dengan penuh
emosi, Jujuryanti masuk ke toilet yang tak jadi ia masuki tadi. Ia membuka
penutup tempat sampah yang ada di toilet. Setelah tong sampah diisi air secukupnya,
ia mengeluarkan tong dan menunggu orang di toilet sebelah keluar.
”Byurrrrr...” Jujuryanti menyiram isi tong sampah
begitu orang di toilet sebelah membuka pintu toilet.
”Ah... apa-apan ini?! Bau banget!” orang itu
terdengar kesal campur terkejut.
***
Keesokan paginya, Jujuryanti menggegerkan satu
kampung. Tak biasanya ia pulang pagi sambil menenteng sesuatu. Anak-anak
sekampungnya sampai mengiringi Jujuryanti menuju rumah. Mereka bersorak-sorak bergembira sambil menyebutkan sesuatu.
”Jujur, sepeda siapa yang kamu bawa itu?” Emak setengah tak percaya putri
semata wayangnya membawa sepeda yang tampak baru.
”Hehehe... ya, sepeda Jujur lah,
Mak. Masa sepeda orang
dibawa-bawa,”
jawab Jujur dengan riang. Ia senang Emak takjub melihat sepeda barunya.
”Bulan ini kamu digajinya dengan sepeda, gitu?” selidik Emak.
”Bukan, Mak. Ini hadiah. Eh iya, Babeh mana, Mak? Udah berangkat kerja ya?”
”Belum, itu lagi siapin otak-otak. Kenapa emangnya?” tanya Emak ingin tahu.
”Yuk, kita duduk dulu, Mak. Jujur capek nih, abis ngegenjot
sepeda dari kantor.” Jujur memarkir sepedanya, lalu bergegas duduk di
kursi tamu.
”Yaudah kalau gitu, Emak ambil minum dulu, ye? Sekalian manggil Babehmu,” ucap
Emak sebelum masuk ke dalam rumah.
Beberapa menit kemudian, Emak datang dengan segelas teh manis buat
putrinya. Babeh mengikuti istrinya dari belakang. Jujur langsung membasahi
kerongkongannya dengan teh.
”Ah, enaaak, ilang hausnya!”
Jujur berkata sambil mengelus lehernya.
”Ayo, buruan cerita. Emak penasaran nih!” dorong Emak, udah nggak sabar.
“Yaelah, bentar, Mak!” gerutu Jujuryanti,
“Begini, sepeda ini hadiah dari kantor...”
”Hadiah dari kantor?” Babeh menyela, ”Emang kamu abis berbuat apa, Jur?”
”Makanya biarkan Jujur selesain cerita dulu, Beh,” ujar Jujuryanti, ”Jujur dikasih hadiah karena berandil dalam penangkapan
pencuri CD.”
”Emang siapa pelakunya?” tanya Emak menunjukkan antusiasnya.
”Ternyata Mak, Utami dan Hendri itu yang mencuri
CD kantor. Mereka berdua berencana menjual CD itu ke perusahaan pesaing. Tapi
belum sempat CD itu berpindah tangan, Hendri dan Utami keburu ditangkep,” papar Jujur menerangkan.
”Terus gimana kamu menangkapnya?” kali ini Babeh
yang bertanya.
Jujuryanti
yang senang menjadi pusat perhatian kedua orang tuanya, makin semangat
bercerita. Ia mengisahkan mulai dari kejadian di toilet, dimana ia memergoki
Utami sedang berbincang-bincang dengan Hendri. Kemudian Emak dan Babeh tergelak
usai Jujur menceritakan kelakuannya menyiram Utami dengan sampah toilet.
”Nah, karena Jujur yakin Utami bakal sibuk
membersihkan diri dari bau sampah toilet, Jujur langsung ngacir mencari Pak
Salit dan polisi yang masih ada di kantor. Nggak butuh waktu lama Mak, Beh, buat meringkus Utami. Dari pengakuan Utami pula, polisi berhasil menangkap
Hendri di rumahnya.”
Jujuryanti menyeruput kembali tehnya, sebelum
melanjutkan, ”Jadi ternyata Mak, Utami dan Hendri itu suami-istri. Utami itu
sengaja ’disusupkan’ Hendri untuk membantunya mengamankan situasi ketika ia
beraksi.”
”Hooo... begitu tho ceritanya,” Emak
manggut-manggut, hampir tak percaya
kejadian yang dialami Jujur persis kayak di film-film.
”Nggak nyangka ya, putri Babeh hebat
juga, Mak. Bisa meringkus pencuri. Udah gitu cara meringkusnya cerdik pula, nyiram
orang pake sampah toilet, hahaha...” Babeh tergelak kembali.
”Siapa dulu dong, Emaknya!” Emak melirik suaminya
dengan mesra. Jujuryanti
mesem-mesem Emak dan Babeh membanggakan dirinya.
“Eh, ngomong-ngomong, kenapa kamu
mintanya sepeda sih, Nak?” tanya Emak sedikit heran dengan pilihan Jujur.
“Eee... sebenarnya sih, Bos udah nawarin motor Mak, buat Jujur. Tapi motor itu kan pake bensin ya Mak, yang artinya ngeluarin duit lagi. Makanya Jujur minta sepeda aja, biar
Babeh sekalian olahraga,” ungkap Jujur terus terang. Bibirnya nyengir badak, berharap Emak dan Babeh
tak keberatan dengan keputusannya memilih sepeda.
”Oh, jadi
sepedanya buat bapakmu tho,” ucap Emak, matanya tertuju pada
sepeda berwarna merah itu.
”Iya, jadi mulai hari ini Babeh tersayang nggak usah
capek-capek jalan kaki dagangin otak-otak. Pake sepeda aja Beh, biar lebih
mudah dan sehat,” tukas
Jujuryanti menepuk ringan pundak Babehnya.
”Iya, terima kasih ya, Nak. Babeh terharu anak Babeh, inget sama bapaknya.” Babeh balas mengelus rambut hitamnya Jujuryanti.
”Iyalah, Beh. Masa nggak sih? Durhaka dong
namanya?” kata Jujuryanti, diam-diam ia merasa bersyukur mampu membantu orang
tuanya. Hal yang selama ini ia idam-idamkan.
”Tapi Nak, kenapa nggak kamu terima aja motornya? Kan kalau dijual bisa jadi duit,” celetuk Babeh
sekonyong-konyong.
Seketika Jujuryanti menepuk jidatnya. ”Oh iya, nggak kepikiran kesitu, Beh!”
Emak dan Babeh langsung lemes mendengar jawaban
’lugu’ putrinya. Jujur... Jujur....
----------------------------------------------
SELESAI -----------------------------------------------------NB.
Temans, cerpen ini pernah diikutkan dalam Lomba Fiksi
Gokil. Alhamdulillah, dapet juara Harapan Ketiga dari total 7 pemenang. Dulu sih panitianya bilang,
karya para pemenang dan nominator bakal dibukukan, tapi sampai sekarang nggak
ada kabar kelanjutannya tuh *curcol. By the way, juara satunya tuh lebih guokiiil
dari cerpenku lho *ya iyalah, moso ya iya donk*
(◦ˆ▽ˆ)
VSD.nitip salam yak buat jujur.loe banget dah.xixixi
BalasHapusUdeh inspeksi nih...
BalasHapusmasih mending cerpen, diriku malah novel pemenang yg gak terbit-terbit ;p
udah mampir ... tp belum baca.. ntar malem aja ya say ... biar lebih konsen bacanya ;)
BalasHapus@Dongeng Naura : Jujur beda dgnku. Aku lebih cerdas *haha, muji diri :)
BalasHapus@Bunda Leyla : sabar ya, Bunda. Moga ada kabar kelanjutannya :)
@ichaawe : jadi, apakah sdh dibaca cerpennya? :)